6

144 10 0
                                    


6

Setelah lelah bermain layangan, kami berempat memutuskan untuk pergi ke rumahku untuk mengerjakan tugas bahasa Inggrisnya Gilang dan Nadia. Dalam perjalanan pulang, aku dibonceng Budi. Di belakangku Nadia dibonceng Gilang.

"Siapa yang menyunat burungmu, Bud?" tanyaku.

"Pak dokter. Aku lupa namanya. Rumahnya di sana," Budi menunjuk satu arah.

"Maksudmu Pak Eko?"

"Iya. Pak Eko. Yang rumahnya ada gazebonya itu."

"Wah. Aku juga disunat di sana."

Budi tertawa. "Ternyata sunat itu sakit, ya Pin."

"Iya, Bud."

"Bapakku bilang, katanya disunat itu rasanya seperti digigit semut."

Aku tertawa. "Ternyata sakit banget. Padahal sudah disuntik bius."

"Katanya kamu nangis."

"Tidak. Aku nggak nangis. Kamu nangis, nggak?"

Budi menjawab dengan malu-malu, "Sebenarnya aku nangis."

"Tidak apa-apa. Aku paham, kok. Memang sakit, sih."

Budi bercerita. "Aku dipeluk bapakku pas disunat. Aku menangis sambil meremas bajunya."

"Bapakmu baik sekali, Bud. Pas aku disunat, bapakku cuma lihat dari jauh. Kakakku juga nggak berani mendekat."

"Setidaknya mereka menemanimu."

"Iya, sih."

Aku melirik ke belakang. Nadia dan Gilang masih bercakap-cakap sambil berboncengan. Keduanya tampak sedang berpacaran. Mungkin mereka juga melihat aku dan Budi sedang berpacaran.

"Ngomong-ngomong, pas burungku mau dipotong, pak dokternya minta aku buat baca syahadat."

Budi tertawa sambil menoleh ke belakang. "Terus kamu bilang apa?"

"Aku diam saja. Sebenarnya aku hafal, sih. Tapi bapakku langsung berkata 'Dia Kristen.' Kakakku tertawa."

Setelah tertawa, Budi berkata, "Memangnya benar, kakakmu nangis pas lihat kamu disunat?"

"Dia nggak nangis. Cuma dia ketakutan saja. Padahal yang disunat aku. Dia nggak tega. Itu pertama kali dia lihat orang disunat, sih."

"Memangnya dia tidak disunat?"

"Tidak."

"Apa?"

"Sebenarnya bapakku juga nggak nyuruh aku buat disunat. Tapi karena teman-temanku disunat, aku jadi pengen."

"Oh. Ngomong-ngomong aku juga nangis pas dilepas perbannya." Budi mengaku.

"Kamu cengeng sekali, Bud."

"Biarin."

"Burungku kok nggak diperban, ya."

"Mungkin karena burungmu kecil. Dan mendelep."

Aku tertawa. "Iya, sih. Pak dokternya juga bilang begitu. Tapi tidak apa-apa."

"Iya. Mungkin setelah disunat bakal jadi besar."

"Besar sih tidak. Tapi bengkak. Bentuknya jadi seperti bunga."

Budi tertawa. "Lihat, dong."

"Nanti, ya. Jangan di sini. Aku juga mau lihat punyamu."

Aku raba burung pacarku. Dia tertawa malu. Aku bisa merasakan yang aku pegang ini sedikit lebih besar dari yang aku lihat dulu.

"Setelah disunat, burungmu kok jadi besar ya?" tanyaku.

"Sebenarnya tidak. Dia jadi besar karena aku ngaceng."

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang