18

144 13 0
                                    


18

Ibu tidak pernah bicara semenjak kejadian itu. Ibu seperti menganggap kalau Budi tidak ada. Tidak pernah menyapa, tidak pernah menegur, tidak pernah bicara. Hanya diam saja. Budi pernah mencoba untuk mengajaknya bicara, tapi tidak ada hasilnya. Ibu hanya mengangguk, menggeleng, atau diam saja. Paling parah, ibu langsung pergi ketika Budi bertanya, "Hari ini Ibu masak apa?"

Bahkan ketika Budi menonton dekat-dekat dengan TV, ibu diam saja. Tidak marah, tidak menegur, tidak bicara. Dia hanya lewat begitu saja, mengabaikan Budi yang nonton kartun tepat di depan televisi. Padahal biasanya ibu akan marah melihat kelakuan Budi itu.

Bapak juga tidak mau bicara dengan Budi. Budi memang tidak mau menyapa apalagi memulai pembicaraan dengannya karena kejadian kemarin itu membuatnya takut dan trauma. Memang dari dulu Budi tidak akrab dengan bapak.

Budi merasa keadaan di rumah menjadi berantakan. Didiamkan di rumah adalah siksaan paling menyakitkan karena tidak ada siapa-siapa untuk diajak bicara. Budi enggan untuk keluar rumah selain untuk sekolah dan mengaji karena bagaimanapun, hubungannya dengan ibu harus segera diperbaiki. Tapi itu tidak akan mudah. Budi tidak bisa langsung datang begitu saja untuk membicarakan masalah kemarin yang bikin ibunya merana. Dia tidak bisa langsung berkata, "Maaf, Bu. Yang dikatakan bapak itu benar. Budi suka laki-laki."

Mana mungkin Budi bicara begitu pada ibunya. Mungkin itu malah bikin ibu jadi lebih merana. Apa mungkin sebaiknya Budi berbohong dengan berkata, "Yang dikatakan bapak itu bohong. Mana mungkin Budi suka laki-laki."

Tapi itu akan bikin masalah jadi lebih rumit. Ibu bisa jadi akan benci bapak. Lagian Budi juga harus menjelaskan kenapa bapak menghukumnya kalau dia berbohong.

Atau mungkin sebaiknya Budi berkata, "Maafkan aku, Bu. Aku memang suka laki-laki. Tapi aku berjanji, aku akan tobat."

Tidak ada satupun kata-kata di atas yang keluar dari mulut Budi. Karena tidak ada yang mewakili perasaannya, dan tidak ada yang pantas untuk dikatakan pada ibunya. Jadi, tidak ada percakapan apa-apa selama beberapa hari setelah kejadian itu.

Sampai pada suatu malam, ibu memulai pembicaraan duluan. Malam itu Budi masih belajar di kamarnya, mengerjakan PR Matematika. Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Ibu datang ke kamar Budi, lalu berkata, "Bapakmu masih di masjid. Dia nggak bawa payung. Antarkan payung untuknya."

Budi tidak bisa menolak permintaan ibunya itu karena akhirnya ibunya mau bicara. Dalam hati Budi bahagia karena dia menantikan suara ibunya. Dia bangkit dari kursinya lalu berkata, "Di mana payungnya?"

Ibu memberikan dua buah payung untuk Budi. Bocah itu membuka satu payung, kemudian berjalan di bawah hujan menuju masjid. Di perjalanan yang basah, Budi baru sadar kalau nanti dia akan bertemu dengan bapaknya yang pernah menghajarnya. Dan itu membuat Budi ragu untuk berjalan bersama. Budi takut nanti bapak memarahinya sepanjang perjalanan pulang.

Sesampainya di masjid, Budi tidak melihat ada siapa-siapa di halaman depan selain bocah yang duduk sendiri menanti hujan berhenti. Bocah itu adalah mas Fajar. Sedang apa dia di sana?

Budi menaruh payungnya yang masih terbuka di tempat orang menaruh sandal. Payung yang satunya juga dia taruh di dekatnya, tapi dengan keadaan tertutup. Di sana masih ada banyak sandal. Ternyata orang-orang masih ada di dalam masjid, entah untuk apa.

Budi menghampiri mas Fajar, dia duduk di sampingnya, menghadap hujan yang belum reda.

"Di mana bapakku?" tanya Budi.

"Di dalam. Mereka masih Yasinan," jawab mas Fajar dengan canggung.

"Kau nggak ikut?"

"Tidak. Sudah terlambat. Tadi aku mau pulang duluan. Tapi tiba-tiba hujan."

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang