8

503 16 0
                                    

8

Setiap sore, masjid itu disulap menjadi kelas-kelas, lengkap dengan meja-meja kecil dan beberapa papan tulis sebagai sarana bocah-bocah belajar agama. Budi mengaji di masjid setiap hari kecuali hari Jumat. Dia berangkat jam setengah tiga sore dan pulang jam lima. Dia baru mengaji sampai juz 12. Memang dia tidak bisa mengaji dengan cepat, tidak seperti Gilang yang sudah pernah khatam Al-Quran. Ketika khatam dulu, orang tua Gilang merayakannya dengan melaksanakan syukuran di rumah serta membagikan jajan ke teman-teman Gilang. Dia sangat bangga dengan pencapaiannya itu.

Teman Budi yang lain, Nadia tidak sampai khatam tapi sudah berhenti mengaji di masjid. Itu karena dia disuruh les orang tuanya karena nilainya di sekolah patut diperbaiki. Memang banyak bocah kelas 6 yang sudah berhenti mengaji. Alasannya kalau bukan karena sudah khatam, ya fokus ujian.

Sebenarnya Budi ingin berhenti mengaji seperti temannya yang lain. Tapi sebagai siswa yang selalu dapat ranking 3 besar, tentu Budi tidak punya alasan kuat untuk meyakinkan bapak dan ibunya untuk ikut les.

"Aku boleh ikut les, ya?" begitu kata Budi dulu ketika membujuk Ibunya.

"Buat apa? Buang-buang duit saja. Kamu ngaji saja sana!"

"Biar bisa masuk SMP 1. Ada ujian masuknya. Itu pasti susah. Jadi aku mau ikut les."

"Buat apa masuk SMP 1? Lagian kamu sudah pinter. Nggak perlu les segala. Yang penting kamu ngaji dulu sampai khatam. Kalau kamu beneran pengen les, bilang bapakmu sana!"

Budi nggak berani bilang bapak karena dia tahu bapak bakal marah-marah seperti biasanya. Tapi akhirnya bapak tahu juga kalau Budi nggak betah ngaji di masjid. Rupanya ibu cerita ke bapak.

"Kalau kamu sudah khatam, kamu boleh berhenti mengaji di masjid. Tapi kamu harus tetap ngaji di rumah," begitu nasihat bapak pada Budi.

Sebenarnya yang bikin Budi nggak betah mengaji di masjid itu bukan karena dia nggak suka mengaji atau malas mendengar ceramah guru ngajinya. Walau Budi tidak bisa membaca Al-Quran dengan cepat seperti teman-temannya yang lain, Budi merasa damai dan tenang ketika mengaji.

Budi juga suka mendengar ceramah guru ngajinya walau nggak semua guru ngaji dia suka. Ada yang galak, ada juga yang ramah. Pak Nasrul adalah guru ngaji favoritnya. Itu karena Pak Nasrul suka menceritakan kisah-kisah Nabi. Pak Nasrul bercerita kisah Nabi Adam dan Hawa, Nabi Musa yang membelah lautan, Nabi Nuh dengan bahteranya, dan Nabi favorit Budi adalah Nabi Sulaiman karena dia diberi mukjizat bisa bicara dengan binatang. Mendengar kisah itu, Budi jadi punya keinginan untuk bisa bicara dengan binatang karena dia bosan bicara dengan manusia. Dan ketika pak Nasrul bercerita, Budi menyimaknya dengan tenang karena terhibur dengan ceritanya. Beliau senang bercerita dengan gerakan tangan seperti seorang penari, memperagakan gerakan pedang yang tangguh. Pak Nasrul tidak seperti guru ngaji lain yang suka ngasih beban berupa tugas dan hafalan.

Sebenarnya tugas dan hafalan itu juga bukan hal yang bikin Budi merasa nggak betah mengaji. Yang bikin dia nggak betah adalah satu bocah bernama Fajar. Dia menjadi anak kesayangan para guru ngaji karena dia sudah dua kali khatam Al-Quran. Pantas saja karena dia sudah SMP. Sudah tumbuh kumis tipis di wajahnya. Semua bocah yang mengaji di masjid itu memanggilnya "Mas Fajar" karena dia memang yang paling tua. Walau sudah masuk SMP, dia tetap mengaji di masjid karena disuruh bapaknya yang sudah meninggal. Dia juga ramah di hadapan para guru ngaji dan suka menuruti perintah. Tapi dia adalah bocah paling ditakuti Budi.

Ceritanya berawal ketika Budi ditantang berkelahi oleh bocah itu. Budi menerima tantangannya. Budi selalu bilang berani kalau ditantang bocah buat berkelahi karena biasanya bocah-bocah itu hanya menantang saja tanpa terjadi perkelahian. Budi nggak mau dibilang pengecut kalau menolak tantangan itu. Ketika menerima tantangan dari Fajar, Budi tidak tahu kalau selain rajin mengaji, Fajar juga anggota perguruan silat yang selalu latihan malam-malam, seminggu sekali di lapangan. Berdasarkan cerita dari Gilang, katanya Fajar pernah menghajar bocah sampai mimisan. Setelah tahu cerita itu Budi jadi takut setiap bertemu Fajar. Bagaimana tidak? Setiap ada kesempatan bertemu, si Fajar selalu mendekati Budi dan bilang "Kau siap bertarung denganku? Kalau nggak berani bilang saja!"

Kadang mas Fajar mengancam Budi dengan menarik kerah bajunya atau mendorongnya. "Aku tunggu sampai kau siap bertarung denganku! Aku akan menghajarmu! Kau masih berani?"

Budi selalu bilang berani. Walau dalam hatinya dia dihantui bayang-bayang perkelahian yang mungkin akan terjadi itu. Dia tahu dia akan kalah dan bocah itu akan menghajarnya sampai babak belur. Mungkin sampai keluar darah dari hidungnya. Mungkin sampai masuk rumah sakit. Bisa jadi sampai mati.

Setiap hari Budi selalu memikirkan cara biar bisa menang dari pertarungan itu. Dia berpikir bagaimana kalau Fajar menendangnya, bagaimana cara menangkalnya, bagaimana dia bisa menyerang, bagaimana caranya kabur dari perkelahian. Budi tahu dia akan kalah. Sudah terlambat bagi Budi untuk menolak tantangan itu.

Setiap mau berangkat ngaji, Budi terbayang wajah Fajar. Dia tahu bocah itu akan selalu menantangnya untuk berkelahi. Saking takutnya, Budi pernah bersembunyi di bawah ranjang. Bersembunyi dari ibunya yang meneriakinya agar berangkat mengaji.

"Budi! Cepat mandi! Sudah saatnya ngaji! Di mana kamu?"

Dan akhirnya ibunya Budi menemukan anaknya meringkuk di kolong ranjang sambil memasang muka sedih seperti mau menangis. Ibu menyeretnya keluar dari sana dan bilang "Jangan manja begitu! Kalau waktunya ngaji, ya ngaji! Kamu ini sudah besar kok susah diatur. Nanti kalau bapak tahu kamu nggak mau ngaji kamu bisa dihajar! Dia akan marah!"

Budi hampir menangis ketika dimarahi ibunya. Tapi dia tahu kalau bapak yang marah, maka dia akan marah lebih galak. Jadi dia menuruti perintah ibunya dan segera mandi untuk berangkat mengaji. Dia mandi sambil menangis karena dia akan bertemu dengan Fajar yang tak bosan-bosan mengganggunya, mengantarnya ke dalam mimpi buruk perkelahian maut.

Budi jadi nggak betah mengaji di masjid. Dia harus segera khatam Al-Quran biar bapak ibunya mengizinkannya untuk berhenti mengaji. Ketika mengaji di depan guru ngajinya, dia berusaha membaca dengan lebih cepat, tapi ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Dia melihat pembatas kitab Al-Qur'annya dan menyadari kalau dia harus mengaji lebih lama karena baru sampai setengah.

Kadang bapaknya Budi mengajak Budi untuk belajar mengaji bersamanya di rumah kalau mereka punya waktu senggang. Bapaknya Budi tahu caranya mengaji dengan cepat, tapi dia malah bilang, "Mengajilah dengan benar, jangan terburu-buru membacanya."

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang