3

116 7 0
                                    


3

Keesokan harinya, sepulang sekolah, ibuku memberi kejutan kue ulang tahun, lengkap dengan lilinnya. Aku masih pakai seragam sekolah ketika ibu, bapak, dan mas David menyanyikan lagu selamat ulang tahun di ruang tamu. Aku pasang senyum paling lebar di hari yang istimewa itu.

"Sekarang tiup lilinnya!" kata Ibu. Semua bernyanyi, "Tiup lilinnya! tiup lilinnya! tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga!"

Dengan semangat aku tiup lilin-lilin itu sampai padam apinya. Semua tepuk tangan.

Mereka kembali bernyanyi, "Potong kuenya! Potong kuenya! Potong kuenya sekarang juga, sekarang juga!"

Ibu membantuku memotong kue. Hasil potongan kue itu aku taruh di piring kecil.

"Kue pertama untuk siapa?" tanya Ibu.

Aku memandang ke sekeliling. Semua tampak bahagia. Aku bingung memilih yang menjadi penerima kue pertama ini.

"Mas David," aku menyerahkan kue itu padanya. Mas David menerimanya dengan tawa, seperti tidak mengira kue itu akan jatuh di tangannya.

"Terima kasih!"

"Sama-sama."

Mas David menggigit kuenya. Tangannya jadi belepotan karena kue itu dilapisi krim. "Enak juga ternyata. Gara-gara kamu tiup, rasanya jadi asin begini," kata mas David dilanjutkan dengan tawa. Semua ikut tertawa.

"Kalau nggak suka jangan dimakan! Buat aku saja!" kataku.

"Terlanjur habis, hahaha..."

Sambil mengambil kue, bapak berkata, "Ngomong-ngomong, masmu punya hadiah untukmu."

"Jangan dikasih tahu sekarang!" bisik mas David.

"Hadiah apa?" tanyaku heran. Bukannya kemarin aku sudah dapat hadiah?

"Ambil saja sekarang kadonya!" suruh ibu.

Mas David pergi, lalu kembali sambil membawa kotak kado yang besar.

"Apa ini?" aku bertanya dengan mempertahankan senyum.

"Bukalah! Biar kamu tahu isinya."

Kotak itu dibungkus dengan kertas kado yang rapi. Aku mencoba membukanya tanpa merobek kertas kado itu.

"Biar aku bantu!" mas David merobek kertas kadonya sampai terlihat kardus di dalamnya.

Dengan semangat aku buka kardus itu. Di dalamnya ada hadiah yang membuatku langsung berdiri untuk memeluk mas David. Itu adalah tas ransel yang aku lihat di toko kemarin. Aku yakin itu adalah tas yang sama. Warnanya sama, modelnya sama, dan gambar kucing itu masih di sana.

Aku mengambil tas itu dari kardus. "Kamu membelinya?" tanyaku pada mas David.

Dia menjawab, "Tentu saja. Mana mungkin aku mencurinya. Sekarang coba kenakan! Semua ingin melihatmu pakai tas itu. Kalau nggak cocok kita tukar saja dengan tas karung."

Semua tertawa. Aku kenakan tas itu di punggungku. Semua tepuk tangan. Aku jadi malu ketika menjadi pusat perhatian.

"Kamu jadi ganteng setelah pakai tas itu," kata bapak.

"Benar. Biasanya kamu jelek," kak David mengejek.

Bapak tertawa, tapi ibu cepat berkata, "Jangan bilang begitu! Kevin itu ganteng dari dulu."

"Kamu belum bilang terima kasih sama mas David. Cepat bilang!" suruh bapak.

Dengan malu, aku melihat kakakku yang juga terlihat malu-malu. Aku berkata, "Terima kasih, Mas."

Dia menepuk pundakku lalu berkata, "Sama-sama. Besok kamu sudah bisa pakai tas itu."

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang