3

666 13 0
                                    


3

Ibu Budi selalu ngomel ketika Budi menonton TV. Alasannya Budi menonton terlalu dekat. Katanya itu bisa merusak mata. Tapi ibu diam saja ketika bapak lebih dekat dengan layer TV. Itu bikin Budi jengkel.

"Bapak biasanya nonton dekat banget. Ibu kok diam saja?"

"Bapak sudah tua. Jangan seperti bapakmu. Susah diatur."

Beda dengan ibu, bapaknya Budi tidak peduli dengan cara Budi menonton TV. Yang penting bapak bisa menonton TV ketika ada pertandingan bola yang ia suka. Dan ketika itu Budi terpaksa harus mengalah pada bapaknya.

Hubungan Budi dengan bapaknya bisa dibilang sangat renggang. Mereka tidak pernah saling bicara bila tidak ada yang perlu dibicarakan. Budi bilang bapaknya itu bukan bapak yang asyik. Atau kata lainnya membosankan. Dia juga bapak yang menjengkelkan. Dia suka menyuruh-nyuruh Budi seperti pembantu. Dia terpaksa menuruti setiap permintaan bapaknya karena dia tahu bapaknya bisa berubah menjadi galak ketika marah. Dan itu pernah terjadi. Karena kegalakannya itu yang bikin Budi enggan untuk bercengkrama dengan bapaknya sendiri.

Saat itu Budi masih kelas 1. Cuaca pagi cerah seperti biasa. Tapi ada yang berbeda. Suara rengekan terdengar di dalam rumah Budi. Tetangga tahu itu tangisan Budi. Dia menangis karena tidak mau berangkat sekolah.

Ada alasan kenapa dia malas bersekolah. Dia memang masih jadi bocah kelas 1, tapi dia sudah merasakan kebosanan dalam pendidikan. Baginya kelas terasa seperti penjara. Anak-anak mungkin berbahagia ketika bernyanyi sampai berlomba saling teriak buat keras-kerasan suara. Budi benci dengan anak-anak yang teriak ketika bernyanyi. Itu berisik dan mengganggu. Ketika waktunya bernyanyi, Budi hanya menggerakkan bibirnya saja, biar Bu guru tidak menegurnya seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Buat apa menyanyi kalau nggak ada merdu-merdunya.

Budi juga benci ketika waktunya belajar mewarnai. Bu guru menyiapkan gambar yang difotokopi yang nantinya akan diwarnai anak-anak. Toples berisi krayon dengan berbagai warna disiapkan di atas meja yang nantinya akan digunakan anak-anak buat mewarnai. Bu guru membagi kertas bergambar ke meja-meja siswanya. Satu lembar gambar yang belum diwarnai ditempel di papan tulis. Bu guru memberi contoh bagaimana cara mewarnai gambar.

Di hari itu gambar yang dibagikan bu guru adalah gambar kodok. Bu guru memberi contoh bagaimana kodok itu seharusnya diberi warna. Jemarinya menari menorehkan krayon ke kertas bergambar kodok yang telah menempel di papan tulis. Krayon warna hijau yang dipilih. Polesan sempurna yang tidak meleset dari garis tepi seperti yang ia mau. Dia isi totol-totol di kulit kodok itu dengan krayon warna hijau yang lebih gelap. Hasilnya kodok hijau cantik yang bikin anak-anak semangat buat mencoba menirukan gurunya. Mereka berebut krayon warna hijau yang ada di toples hingga meja jadi berantakan. Karya anak-anak itu juga berantakan. Jelek tidak karuan. Ramai dalam kegaduhan mereka rebutan krayon. Menjerit saling mengaku gilirannya memegang krayon hijau.

Dengan kewalahan, ibu guru melerai anak-anaknya yang saling berebut. Dalam hati beliau pasti berkata, "Seharusnya aku tidak menggambar kodok hari ini."

Tidak mau saling berebut, Budi memilih untuk menunggu anak-anak yang lain selesai menggunakan krayon warna hijau. Terlalu lama menunggu membuat Budi kesal. Dia mulai mencoba lebih kreatif. Dia ambil krayon berwarna coklat kehijauan. Jarinya menekan krayon itu hingga warna yang muncul jadi lebih menempel di kulit kodok. Budi mengambil krayon warna hitam buat memoles bagian totol-totol kodok. Ketika sudah selesai, dia memandangi hasil karyanya itu dan membandingkannya dengan karya teman-temannya. Dia percaya karyanya adalah yang paling bersih dari polesan yang keluar garis. Dia bangga dengan hasil karyanya.

"Lihat! Kodoknya Budi mirip Alpukat! Hahaha..."

Tawa bocah itu bikin anak-anak yang lain jadi menoleh menghadap Budi. Mereka jadi beranjak dari bangkunya buat melihat kodok alpukat itu. Ketawa mereka jadinya. Bu guru yang juga penasaran akhirnya ikut mendekat. Tersenyum dia melihat kodok coklat itu. Lebih tepatnya menahan tawa. Bukannya membela, dia malah keluar buat memanggil guru lain yang kebetulan lewat. Datang ibu kepala sekolah. Dia melihat karya kodok itu dan tertawa.

"Kasih dia gambar yang baru! Kasihan!"

Budi tidak mau. Dia percaya tidak ada yang salah dengan karyanya itu. "Kodok itu memang begitu! Kalian pernah lihat kodok nggak sih?"

Budi juga tidak suka pelajaran membaca. Dia sudah bisa membaca. Sangat membosankan mendengar teman-temannya belajar membaca.

Ibu guru mengeja kalimat yang tertulis di papan tulis, "Ini Budi."

Bukannya membaca, semua malah tertawa lalu mengarahkan pandangan ke arah Budi. Itu yang bikin Budi kesal. Ia menganggap teman-temannya mengejek namanya. Setelah Bu guru kembali mengulang kalimat itu, anak-anak meneriakkannya keras-keras sampai Budi tambah kesal.

"Budi, kamu kok nggak ikut membaca?"

"Hahaha..." Tertawa semua.

Kekesalan itu cukup untuk bikin Budi menolak masuk sekolah sampai bikin dia ngambek. Ibu terus memaksanya biar mau mandi dan pakai seragam. Itu tidak berhasil karena Budi malah nangis. Bapak menghajarnya dengan sabetan lidi, ditambah dengan amukan yang didengar tetangga. Dibawanya bocah itu ke kamar mandi untuk dimandikan dengan paksa. Bekas sabetan lidi terasa perih di kulit ketika tersentuh air.

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang