3

145 13 2
                                    

3

Aku mengajak Budi untuk duduk di teras sambil menunggu kakakku yang masih ganti baju. Di sana, Budi melihat sepedaku yang terparkir di halaman. Itu adalah sepeda gunung yang sama yang dulu aku kendarai bersama Budi. Tapi ada yang berbeda dengan sepeda itu.

"Sepedamu kenapa?" tanya Budi.

"Tidak kenapa-napa. Mas David memasang boncengan di belakangnya."

"Aku kira cuma sepeda perempuan yang bisa dipasang boncengan."

"Aku kira juga begitu, ternyata sepeda gunung juga bisa. Kakakku bilang kalau dia ingin bersepeda berboncengan denganku. Tapi itu masih rencana. Sekarang dia lebih milih naik motor daripada sepeda."

"Sebaiknya kamu ingatkan."

"Iya."

Kakakku datang dengan baju rapi siap untuk bekerja. Bapak dan Ibu masih sibuk mencuci piring dan membereskan dapur. Budi berdiri dan siap berpamitan denganku. Dia ragu untuk beranjak dari tempat dia berdiri, seakan tidak ingin pulang.

"Ayo," kakakku mengajaknya berangkat.

Kakakku masih berusaha menyalakan motornya. Sepertinya motornya tidak mau menyala. Motor itu memang jarang dirawat. Selama ditinggal pemiliknya masuk penjara, dia dititipkan di rumah kakek. Dan aku percaya kalau kakek jarang menggunakan motor itu, apalagi merawatnya.

Kakakku terus mengengkolnya sampai kelelahan. Aku dan Budi tetap sabar menunggu.

"Sepertinya nggak mau menyala," kakakku menyerah.

"Aku bisa pulang jalan kaki," kata Budi.

"Jangan! Bapak akan mengantar kita," kata kakak.

Bapak datang setelah mendengar suara motor itu tak kunjung mau menyala. "Mogok lagi?"

"Iya. Antarkan aku, Pak."

Bapak merogoh kantong celananya, dan yang dilakukannya setelah itu membuatku merinding ketakutan. Bapak menyodorkan kunci mobilnya pada kakakku. David hanya memandangi kunci yang masih dipegang bapak. Dengan bergetar kakak terdiam di sana, sama sekali tidak bergerak, apalagi mengambil langkah untuk merebut kunci itu.

Seketika ingatan itu muncul dalam benakku. Aku ingat suara-suara itu, suara benturan yang begitu keras seperti ledakan. Suara kambing-kambing itu. Aku ikut bergetar, tidak siap kalau kakakku kembali mengendarai mobil itu. Mobil yang goresan dan penyoknya masih ada, sebagai tanda akan mimpi buruk itu. Sebuah luka yang menolak untuk disembuhkan. Aku tidak bisa membiarkan Budi berada dalam mobil yang dikendarai kakakku. Cukup aku dan mobil itu saja yang terluka.

"Aku belum siap," kata kakakku lemas. Dan itu membuatku lega.

"Aku tidak memaksamu," kata bapakku. Dia langsung berjalan menuju mobil, diikuti Budi dan kakakku. Mereka sudah masuk mobil. Sebelum mobil itu beranjak, aku berdiri di samping pintu belakang untuk melihat Budi yang duduk di dalam bersama kakakku.

"Jangan lupa besok," kataku.

Budi tersenyum, "Sampai jumpa besok."

Tiba-tiba ibu berlari mendekati mobil sambil membawa rantang. Lewat jendela, diserahkannya rantang itu pada Budi yang sudah duduk di dalam mobil. "Ini untuk kamu bawa pulang. Katanya bapakmu suka mi goreng bumbu kacang,"

"Terima kasih," Budi tersenyum menerima rantang itu.

Mobil berjalan dan dia melambaikan tangannya. Aku juga membalasnya dengan lambaian tangan. Kakakku juga melambaikan tangannya padaku.

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang