4

645 17 0
                                    


4

Bukan cuma punya dua TV, aku juga punya kulkas di rumahku. Itu juga bikin Budi kagum. Mungkin di rumahnya belum ada kulkas. Dengan kulkas, kita bisa menyimpan makanan biar awet. Kita juga bisa bikin es batu karena di kulkasku ada freezer-nya. Ibuku suka bikin es gabus dan es lilin menggunakan freezer itu. Kebetulan ketika Budi datang es lilinnya sudah membeku.

Budi sudah berjanji akan mengajakku ke alun-alun buat buat menyelesaikan gambar pohon beringin. Sebelumnya dia bilang kalau dia tidak bisa datang ke rumahku karena lukisannya itu harus segera jadi dan segera dikumpulkan.

"Dulu di SD-ku tidak ada tugas menggambar pohon beringin," kataku.

"Tugasnya bukan menggambar pohon beringin. Tapi menggambar pemandangan di sekitar kita. Aku pilih menggambar pohon ini karena mudah digambar."

"Kenapa kamu tidak menggambar pemandangan di dekat rumah saja?"

"Teman-temanku pasti sudah menggambarnya. Aku tidak mau sama dengan yang lain."

"Kalau begitu, aku ikut, ya! Ajak aku menggambar di sana."

Ibuku memberi bekal beberapa batang es lilin yang dibungkus kotak bekal. Budi membawa tas. Jadi aku menaruhnya di sana.

Sesampainya di alun-alun, aku dan Budi memarkir sepeda dan duduk di bawah pohon beringin. Budi mengeluarkan buku dan pensil dari tasnya dan mulai menggambar.

"Kapan tugasnya harus dikumpulkan?"

"Seharusnya hari Rabu kemarin. Tapi karena banyak yang belum mengerjakan, ditunda Rabu depan."

Budi menambahkan beberapa burung di gambarnya. Juga pagar yang mengelilingi pohon. Awan dan rumput juga digambarnya.

"Sebenarnya aku sudah selesai menggambarnya. Tapi guruku minta gambarnya diwarnai."

"Jangan sampai salah warna lagi! Nanti burungmu jadi alpukat."

"Hahaha... Seharusnya aku tidak menceritakannya. Aku punya krayon sendiri sekarang."

Aku mengambil es lilin yang ada di tas Budi. Ternyata masih membeku. Aku buka ikatan karetnya dan aku tarik plastiknya sehingga esnya keluar dan siap diemut.

Melihatku mekan es lilin, Budi jadi berhenti menggambar dan ikut mengambil es dari kotak bekal.

"Apa kamu sudah sunat?" Tiba-tiba dia bertanya begitu.

"Belum. Kenapa?"

"Aku juga belum. Apa kamu takut?"

Aku tidak langsung menjawab. Aku pikir-pikir dulu mau jawab apa. Kalau aku bilang takut, nanti Budi akan menyebutku pengecut.

"Iya. Aku takut kalau nanti burungku dipotong."

"Yang dipotong itu bukan burungmu. Yang dipotong itu kulitnya saja. Seperti plastik di es lilin ini."

Budi melepas karet pengikatnya dan dia tarik plastiknya sampai esnya keluar.

"Nanti kalau sudah disunat bentuknya seperti ini. Kelihatan dalamnya." Kata Budi.

"Apa itu sakit?"

"Tidak tahu. Aku belum sunat. Tapi kata temanku tidak sakit. Aku tahu dia bohong karena dia nangis ketika disunat."

"Dari mana kamu tahu kalau dia nangis?"

"Aku lihat sendiri."

"Kamu lihat pas dia sunat?"

"Iya. Dia disunat di rumahnya. Burung dia terjepit resleting setelah pipis. Bapaknya mendatangkan dokter ke rumah. Dia menyuruh dokter buat menyunat sekalian. Kebetulan dia tetanggaku. Jadi aku lihat."

"Apa dia tidak malu? Aku pasti malu kalau burungku dilihat orang."

"Kenapa? Burungmu kecil ya?" Budi tertawa.

Tersenyum malu aku menggeleng.

Setelah menghabiskan semua es lilin, Budi kembali mengambil buku dan melanjutkan gambarnya. Dia memintaku untuk berdiri di samping pohon karena dia ingin menggambarku.

"Jangan bergerak!"

Aku harus diam berdiri di sini. Melihat Budi menorehkan pensilnya di kertas. Aku bisa melirik hasil gambarnya itu. Memang tidak realistis. Tapi lumayan buat gambar anak SD. Budi terlihat sungguh-sungguh menggambar. Dia memandangku, lalu membuat garis-garis tipis di kertas, membentuk tubuhku. Tanganku, bajuku, wajahku, dia gambar dengan teliti.

"Apa sudah selesai?"

"Sebentar lagi. Kamu di situ saja."

Aku tahu gambarnya sudah selesai. Jadi aku beranjak dari sana lalu duduk di samping Budi. Dia masih sibuk dengan gambarnya itu.

"Apa kamu mau kasih warna sekarang?"

"Tidak. Aku mau mewarnainya di rumah. Aku nggak bawa krayon."

"Kita bisa melakukannya di rumahku. Aku punya krayon."

Budi setuju dengan saranku itu. Jadi setelah selesai dengan sketsanya, aku dan Budi kembali ke rumah. Di kamarku Budi menyalakan TV. Aku mencari krayon yang aku beli ketika masih SD. Aku ingat dia ada di tas ranselku yang lama, tas yang dulu aku pakai ketika masih SD. Itu ada di lemari. Aku tidak pakai tas itu lagi karena Ibuku membelikan tas yang baru ketika masuk SMP.

Budi mengerjakan gambarnya ketika iklan muncul. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang