14
Pada hari Minggu yang cerah, Budi datang sambil membawa sesuatu. Itu adalah kaset yang pernah dipinjam Gilang. Dia berniat untuk meminjamkannya kepadaku karena dia bilang lagunya bagus dan aku harus mendengarkannya. Dari gambar sampulnya aku bisa tebak ini bukan band terkenal karena aku belum pernah melihatnya di televisi.
"Dia memang tidak pernah masuk TV. Tapi kamu harus coba mendengarkannya. Aku suka sekali dengan liriknya. Aku hafal semua lagunya. Hampir tiap hari aku mendengarkannya dan menyanyikannya."
"Aku ingin mendengarkannya. Tapi aku tidak punya pemutar kaset."
"Apa? Kamu ini gimana? Kamu punya TV sendiri di kamar tapi tidak punya pemutar kaset?"
Zaman sekarang memang sudah jarang yang masih mendengarkan musik lewat kaset. Orang-orang biasa mendengarkan musik lewat TV atau radio. Mungkin kalau punya uang orang lebih milih beli CD, VCD, atau DVD karena kadang ada karaokenya. Tapi kaset memang masih diminati. Di sekolahku dulu sering mengadakan senam bersama, dan lagunya diputar dari kaset.
"Sepertinya kakakku punya Walkman. Aku pernah lihat dia menggunakannya. Tapi aku tidak tahu dia menaruhnya di mana."
"Mungkin ada di kamarnya."
Aku dan Budi berjalan mengendap ke kamar kakakku karena aku tidak mau ibuku tahu aku sedang berada di sana. Dan ternyata kamarnya tidak dikunci. Aku membukanya dengan hati-hati. Debu licin menyelimuti gagang pintunya karena sudah lama tidak dipegang.
Ketika terbuka aku bisa melihat kenangan ketika kakakku masih di sana. Dulu dia suka berdiam di sana sambil membaca salah satu dari banyak koleksi bukunya yang ditaruh di rak. Dia juga suka mengajakku bermain monopoli atau kartu di kamarnya sambil membicarakan apa saja. Kebanyakan tentang kartun atau sekolah. Sekarang ruangan ini terasa hampa tanpa perbincangan itu. Mungkin sebentar lagi akan ramai kembali kalau kakak sudah pulang. Itu kalau aku kembali akrab dengannya. Semoga saja begitu karena tidak lama lagi dia akan pulang.
Sebuah kubus rubik tergeletak di meja dengan keadaan masih teracak. Aku mengambilnya lalu mencoba untuk menyelesaikannya.
"Apa kau bisa main itu?" tanya Budi.
"Dulu kakakku pernah mengajariku. Caranya, kita bikin silang dulu di sisi yang putih. Terus kita selesaikan layer pertama. Kemudian layer kedua."
Sambil mengingat-ingat caranya, aku berhasil menyelesaikan dua layer kubus rubik itu. Tapi aku lupa bagaimana caranya menyelesaikan layer ketiga biar kubus itu berhasil dipecahkan.
"Aku lupa caranya," kataku.
"Bilang saja nggak bisa," kata Budi sambil merebut kubus rubik itu.
"Aku pernah menyelesaikannya. Aku hanya lupa caranya," seruku.
Budi mengacak kembali kubus itu kemudian mencoba untuk menyelesaikan satu sisi. Sisi yang berhasil dia selesaikan adalah sisi yang berwarna kuning. "Lihat! Aku bisa menyelesaikan sisi warna kuning," kata Budi sambil menunjukkan kubus itu.
"Bukan begitu caranya. Kamu harus menyelesaikan layer pertama dulu kalau mau menyelesaikan semua warnanya. Warnanya di layer pertama harus sesuai," aku menjelaskan.
Budi melempar kubus itu ke kasur kemudian bertanya, "Kapan terakhir kali kamu ke sini?"
"Aku tidak ingat. Mungkin hampir satu tahun. Atau lebih."
Budi duduk di kasur yang sudah banyak debunya sementara aku mencari walkman yang dulu pernah aku lihat dipakai kakak. Sebelum itu aku membuka gorden jendela, membiarkan cahaya matahari masuk dan menyinari seisi kamar. Aku mencari di rak yang dipenuhi dengan berbagai jenis buku. Kebanyakan adalah buku novel dan buku resep makanan. Di sana tidak ada. Mungkin ada laci meja. Aku membuka laci itu dan ternyata isinya hanya perlengkapan tulis. Masih ada satu tempat yang belum aku buka. Tempat itu adalah laci bagian bawah. Ketika aku mencoba membukanya, aku sadar bahwa laci itu tidak bisa dibuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Budi
RomancePertemanan Budi dan Kevin dimulai dari sebuah perkenalan yang tak diduga. Keduanya menyimpan rahasia yang mereka jaga. Pertemanan mereka dipertaruhkan ketika Kevin mengenal Tiara, gadis yang pernah mengikuti PERSAMI bersama Budi. Saya menulis ceri...