16

161 13 5
                                    


16

Sepulang sekolah, Budi langsung masuk kamar. Setelah ganti baju, dia mencari surat yang sudah dia tulis kemarin. Dia ingat tadi pagi surat itu masih di meja. Tapi sekarang sudah tidak ada di sana. Budi tidak ingat pernah memindahkan surat itu. Dia mencari surat itu ke mana-mana. Di laci meja tidak ada. Di dalam tas juga tidak ada. Di lemari tidak ada. Di kasur tidak ada. Mungkin terselip di antara buku-bukunya, ternyata juga tidak ada. Mungkin jatuh ke lantai, tidak ada. Di kolong meja, tidak ada. Di kolong ranjang, tidak ada.

"Kau cari apa?" tanya bapak yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Kedua matanya melotot ke arah Budi.

"Bapak nggak kerja?" Budi balik tanya.

"Bapak sudah buang suratmu itu."

Jantung Budi rasanya seperti mau meledak. Lemas rasanya mendengar bapak mengucapkan kalimat itu. Tidak terbayang bagaimana perasaan bapaknya ketika membaca surat itu. Itu adalah surat yang membeberkan secara gamblang semua rahasia yang selama ini disembunyikan Budi, yang selalu dia jaga biar tidak diketahui siapa-siapa, apalagi bapak. Rahasia bahwa Budi menyukai laki-laki. Gara-gara surat itu rahasia itu terbongkar juga. Bahkan dari surat itu juga bapak jadi tahu dengan siapa Budi jatuh cinta. Dan kini Budi belum siap dengan reaksi yang akan datang dari bapak. Bapak baru bilang kalau dia sudah membuang suratnya. Itu bukan pertanda yang bagus. Budi tahu bapak membuang suratnya karena bapak tidak merestui hubungannya dengan Kevin. Bapak tidak merestui anaknya jadi homo.

"Siapa yang mengajarimu?" bapak membentak. Dia melangkah mendekati Budi. "Siapa yang mengajarimu jadi begini?"

Budi hanya diam menunduk memandangi lantai. Dia tidak berani menatap mata bapaknya yang sedang murka.

Dengan galak, bapak membentak, "Budi! Kau berdosa! Bapak didik kamu biar bisa jadi laki-laki yang baik, yang punya moral. Ternyata kau durhaka!"

Budi masih terdiam, menunduk, menahan jantungnya yang hampir meledak.

"Dosa besar kamu, Budi!"

Bapak menarik lengan Budi, lalu menyeretnya dengan genggaman yang kuat. Budi dibawa ke kamar mandi. Tempat di mana dulu Budi pernah telanjang bersama Kevin. Bocah itu nurut, tanpa perlawanan. Dia dibiarkan berdiri di pojok kamar mandi.

"Lihat muka bapak!" perintah Bapak dengan tegas.

Budi masih menunduk. Tangan itu menampar pipi Budi sampai terasa panas. Bapak mengulang perintahnya, "Lihat muka bapak!"

Budi mengangkat kepalanya, dan dia dapat melihat muka bapaknya yang sedang murka, tidak ada senyum di bibirnya. Yang ada hanya kengerian yang bikin Budi ketakutan.

Bapak juga melihat muka Budi yang melas, seperti minta dikasihani. Tapi bapak tahu Budi tidak perlu dikasihani. Yang dia butuhkan adalah hukuman yang bikin dia kapok lalu sembuh dari penyakit homonya itu.

"Setan telah menguasaimu, Nak! Bertobatlah!" kata Bapak.

Bapak mengambil air dengan gayung, kemudian diguyurkan air ke tubuh Budi. Kaos dan celananya jadi basah. Tak henti-henti bapak mengucapkan doa dalam bahasa Arab.

Beberapa gayung air dia siramkan ke tubuh anaknya. Air mata yang Budi tahan sejak tadi akhirnya mengalir juga. Mukanya mengkerut dengan tangisnya itu. Bocah itu menutup matanya dengan tangan, menyembunyikan tangisnya yang jelas-jelas terlihat. Siraman air itu memang menghapus air mata Budi, tapi bapak tahu dia sedang menangis. Suara tangisnya mulai terdengar.

"Lebih baik aku yang menghukummu daripada kau dihukum di neraka!"

Bapak terus mengguyur tubuh Budi. Sarung yang dikenakan bapak ikut basah karena airnya terciprat ke mana-mana. Bapak tetap membaca doa, Budi tetap menangis.

Dalam tangisnya, Budi memanggil-manggil ibunya, "Ibu... Ibu..."

"Ibumu nggak akan bisa menyelamatkanmu dari neraka, Nak!" bentak bapak.

Air di kamar mandi sudah hampir habis. Bapak membanting gayung ke lantai, suaranya bikin Budi mengira gayung itu pecah. Bapak keluar dari kamar mandi, membiarkan Budi kedinginan di sana. Hanya sebentar, karena tak lama kemudian bapak datang kembali sambil membawa sapu lidi.

Dengan erat, Budi berpegangan pada bak mandi. Melihat bapaknya datang mengambil beberapa helai lidi dari sapu itu, Budi merinding. Dia berbalik, meringkuk, memberikan punggungnya untuk disabet bapak.

Rasa sakit itu datang dengan tiba-tiba sampai tangis Budi berhenti seketika, merasakan sakit yang diikuti dengan panas di kulit punggungnya. Belum selesai cuma sekali, sabetan itu datang kembali, bertubi-tubi. Budi menangis makin kencang lagi.

Di tengah hukuman itu, ibunya Budi datang membawa barang belanjaan di tas berupa sayur mayur dan barang masakan lain. Melihat anaknya disabet, ibu segera menjatuhkan tasnya sampai sayuran itu berceceran, tomat dan terong menggelinding.

"Ibu... Ibu..." teriak Budi sambil menangis.

"Budi! Ada apa ini?" teriak ibu. "Budi berbuat apa?" tanya ibu pada bapak yang berhenti menyabet.

Dengan napas tergengah-engah, bapak menjawab, "Kita gagal mendidiknya menjadi laki-laki. Dia menulis surat cinta untuk temannya yang juga laki-laki. Menjijikkan!"

Ibu terdiam, bersandar di dinding. Dia mengelus dadanya, kemudian mengelus juga perutnya, di mana di dalamnya adiknya Budi berlindung. Menyaksikan ibunya bersedih, Budi tersentuh untuk memeluknya.

Namun, bapak terlanjur melanjutkan sabetannya. Budi berteriak ,"Ibu... Ibu..."

Ibu masih mengelus perutnya sambil menangis. Budi dapat melihat bahwa bibir ibunya komat-kamit sambil menangis. Entah apa yang ibu ucapkan. Barangkali "Amit-amit jabang bayi."

Kekacauan ini terus berlanjut. Bibir bapak terus komat-kamit membacakan doa sambil memberi hukuman yang menyakitkan untuk Budi. Doa yang dibacakan bapak perlahan mulai luntur oleh tangis yang keluar dari mulut berkumis itu. Doanya berhenti digantikan dengan tangisan seperti bocah cengeng. Bapak, ibu, dan Budi menangis bersama. Tangis mereka bergema di ruang kamar mandi yang sempit itu.

Merasa kasihan dengan anaknya, ibu bangkit lalu mencoba merebut lidi dari bapak. "Sudah, Pak! Sudah! Cukup!"

Ibu berhasil merebut lidi itu. Bapak pergi begitu saja tanpa bilang apa-apa. Ibu menjatuhkan lidi yang dia pegang.

Budi berhenti menangis. Dia usap mukanya yang basah oleh air mata. Ibu datang untuk memeluk bocah malang itu. Ibu menangis, memandangi muka Budi yang tidak karuan.

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang