3

201 10 0
                                    


3

Biasanya kalau Budi sedang di rumah, ibunya suka menyuruhnya mengantar makanan untuk bapaknya yang menjahit di kiosnya di pasar. Hari Jumat adalah hari di mana Budi nggak ke mana-mana setelah sekolah karena dia tidak mengaji. Bekal yang akan diantarkan Budi ke pasar adalah nasi bungkus yang lauknya tempe. Sayurnya dibungkus plastik. Sepedanya Budi tidak ada keranjangnya, jadi dia memasukkan makanan itu ke kresek kemudian menggantungnya di stang sepedanya.

Dengan senang hati Budi melakukan perintah ibunya itu karena dia memang suka bersepeda, melihat-lihat pemandangan di desa dengan berbagai kesibukan orang-orang. Di kota yang kecil ini memang tidak terlalu ramai suasananya, dan itu membuat Budi jadi betah. Dia bandingkan dengan hiruk-pikuk kota besar yang dia lihat di televisi. Kadang dia iri dengan kehidupan di kota besar, semua yang dicari pasti ada, toko di mana-mana, gedung tinggi pencakar langit, jalanan ramai, tangga berjalan di mal, bioskop, dan tempat-tempat lain yang tidak dia temukan di kotanya. Tapi dia jadi bersyukur setelah tahu di kota besar banyak polusi, kejahatan, kemacetan, dan dosa.

Lokasi pasar tempat bapaknya Budi menjahit agak jauh dari rumah. Budi harus mengayuh sepeda untuk sampai ke sana. Dia melewati dua perempatan yang ada lampu merah. Pada lampu merah kedua, lampu itu menyala, menghentikan sepeda yang dinaiki Budi, juga beberapa motor dan mobil yang kebetulan berada di jalan yang sama.

Budi dikejutkan dengan kemunculan mobil itu, mobil yang bagian depan dan sampingnya penyok. Mobil itu berhenti di seberang jalan, hendak berjalan ke arah yang berlawanan dengan tujuan Budi. Kedatangan mobil itu seketika mengingatkan Budi akan bayang-bayang dan kenangan ketika dulu dia bertemu dengan laki-laki idamannya.

Mobil itu berjalan tak lama setelah lampu hijau menyala. Ketika mobil itu berjalan melewatinya, dia memanjangkan leher, melirik ke dalam mobil itu, mencari tahu apakah dia ada di sana. Dan dia kecewa. Mobil itu hanya ditumpangi satu orang saja, orang yang mengendarainya. Budi menebak itu pasti bapaknya Kevin. Budi nggak mau kehilangan kesempatan. Dia langsung berbalik arah, menyeberang, kemudian mengejar mobil itu. Sebenarnya mobil itu tidak berjalan dengan kencang, tapi perlu banyak tenaga untuk mengejarnya karena Budi hanya menggunakan sepeda. Mobil itu jadi tampak kecil dilihat dari kejauhan. Budi hampir tertinggal.

Budi beruntung karena lampu merah kembali menghentikan mobil itu, memberi kesempatan buat Budi untuk mengejar ketinggalan. Tapi Budi tidak diberi waktu istirahat karena lampu hijau segera menyala setelah Budi berada di samping mobil itu. Dia harus mengayuh lebih kencang lagi. Napasnya tak karuan, keringatnya bercucuran. Lelah rasanya.

Tapi rasa lelah itu terbayar ketika mobil itu berhenti di sebuah rumah. Budi tidak mau orang yang mengendarai mobil itu tahu dia sedang diikuti, jadi Budi berhenti agak jauh dari rumah itu. Setelah selesai parkir, orang itu masuk rumah. Budi jadi berani untuk mendekat. Budi perhatikan mobil itu. Dia yakin itu adalah mobil yang sama yang dulu dia lihat. Penyoknya sama, warnanya sama, modelnya sama. Sudah tidak diragukan lagi. Bisa jadi Kevin tinggal di sini.

Budi memandangi rumah itu, menantikan kehadiran bocah yang dia yakini tinggal di dalamnya. Dia pandangi jendelanya, berharap bocah itu muncul dari sana. Dia pandangi parabola yang terpasang di atapnya, membayangkan saluran televisi apa yang disaksikan penghuninya.

Budi tak bisa lama-lama berada di sana. Dia teringat dengan makanan yang dia bawa. Dia segera pergi dari tempat itu, dan langsung menuju kios bapaknya di pasar. Tapi tenaganya sudah habis dia gunakan untuk mengejar mobil tadi. Dia tak bisa sampai ke pasar dengan cepat.

Ketika sampai di sana, Budi melihat bapaknya sedang makan. Bapaknya bilang, "Kukira kamu nggak datang. Jadi aku beli ini," dia menunjuk nasi pecel yang ada di mejanya.

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang