9

424 14 0
                                    


9

Dalam foto yang digantung di dinding ruang tamu itu aku berdiri di tengah. Sebuah foto keluarga dengan latar belakang pantai yang cerah. Dalam foto itu aku mengenakan baju kesukaanku. Itu adalah baju kodok yang sekarang sudah tidak muat untuk dipakai. Sebagai seorang bocah, aku senang mengenakan baju itu karena modelnya unik dan memiliki kantong lucu. Aku suka menaruh tanganku di kantong itu tanpa alasan.

"Kamu seperti Boboho waktu kecil dulu," kata Budi ketika menunjuk fotoku itu.

"Benarkah? Aku tidak segemuk itu."

"Kamu itu gemuk. Apalagi di foto itu kamu gundul dan pakai kacamata. Ketika masih kecil dulu aku juga pernah digundul."

"Kenapa digundul?" tanyaku penasaran.

"Dulu aku takut dicukur. Aku rewel ketika dicukur, sampai-sampai tukang cukurnya tak sengaja mencukur habis rambutku yang bagian tengah, mirip seperti di adegan Mr. Bean. Akhirnya aku digundul sekalian. Bapakku marah padaku. Aku malah nangis, karena aku memang masih kecil saat itu, masih TK. Tapi akhirnya bapak menghiburku dengan bernyanyi Gundul-Gundul Pacul. Mungkin dia bernyanyi untuk mengejekku."

Lucu sekali. Cerita Budi barusan mengingatkanku dengan dia, laki-laki pirang yang ada di foto itu. Dulu dia juga bernyanyi Gundul-Gundul Pacul setelah aku digundul. Aku yakin benar dia mengejekku karena dia tertawa lepas sampai tak bisa menyelesaikan nyanyiannya.

"Kalau kamu, kenapa kamu digundul?" tanya Budi.

Aku tidak langsung menjawab. Aku pandangi foto laki-laki itu. "Dulu ketika libur sekolah, dia ngecat rambutku jadi pirang. Katanya bisa kembali hitam, tapi ternyata setelah libur selesai rambutku masih pirang. Jadi aku harus digundul."

"Dia siapa?"

Selain bapak dan ibu, ada satu orang lagi di dalam foto itu. Itu adalah laki-laki yang saat difoto usianya sekitar dua puluhan. Dia juga mengenakan kacamata hitam karena cuaca pantai memang sedang panas-panasnya. Rambutnya pirang karena dicat.

"Siapa dia?" Budi menunjuk laki-laki di foto itu.

"Rahasia," jawabku.

"Kenapa rahasia?"

"Kamu tidak perlu tahu."

"Kenapa?"

"Rahasia. Itu bukan urusan kamu."

"Oh. Kalau begitu aku akan kasih tahu rahasiaku kalau kamu kasih tahu siapa dia."

"Emangnya kamu punya rahasia apa, Bud?"

"Ya, rahasia. Kalau aku ceritakan nanti bukan rahasia lagi."

Sebenarnya apa rahasia Budi? Sebagai teman yang akrab, Budi selalu cerita tentang banyak hal. Terlalu banyak sampai aku tahu tentang bapak ibunya atau teman sekolahnya. Namun ketika dia bilang dia punya rahasia, itu benar-benar membuatku penasaran. Apa yang sebenarnya Budi sembunyikan?

Aku mengajak Budi ke kamar untuk menceritakan rahasianya itu. Dan mungkin nanti aku juga akan menceritakan rahasiaku.

"Jadi apa rahasiamu?" tanyaku.

"Aku nggak akan cerita sebelum kamu cerita duluan. Siapa orang di foto itu? Dia mirip denganmu."

Aku alihkan pandangaku ke bawah ketika menjawab "Dia kakakku."

Aku terdiam. Ada perasaan lega setelah mengatakan itu. Temanku ini juga terdiam, menunggu penjelasan. Aku melanjutkan "Sebenarnya yang mengajariku berenang itu bukan bapakku. Bapakku tidak bisa berenang. Yang mengajariku berenang adalah kakakku. Dia juga yang beli kacamata itu. Dia juga pernah bilang kalau aku mirip Boboho di foto itu. Dia yang ngecat rambutku. Dulu aku akrab dengan kakakku. Dia suka menemaniku menonton TV. Dulu dia adalah kakak yang menyenangkan."

"Sekarang dia di mana?"

Aku tidak langsung menjawabnya. Perlu keberanian untuk menjawab, "Dia masuk penjara."

"Kenapa?"

Berat rasanya untuk bercerita, namun wajah penasaran temanku itu terus menggoda. Akhirnya dengan ragu mulai bicara, "Dia menabrak mobil pikap sampai terguling. Dia mabuk sekali saat itu sampai tidak memperhatikan jalan. Sekarang kamu tahu kenapa bagian depan mobilku penyok begitu."

"Apa dia tidak kenapa-napa?"

"Dia tidak kenapa-napa. Tapi aku masuk rumah sakit. Aku lupa ngasih tahu kamu kalau aku juga ada di dalam mobil itu waktu kejadian. Ketika mabuk dia seperti bukan kakakku. Dia marah-marah dan itu membuatku takut."

"Kamu tidak kenapa-napa, kan?"

"Kecelakaan itu membuatku menderita sampai beberapa hari di rumah sakit. Dan aku menyalahkan kakakku. Semenjak dia masuk penjara, aku tidak pernah bertemu dengannya. Aku tidak mau. Aku merasa dia bukan kakakku lagi. Ibu bilang dia merindukanku. Ketika ibu dan bapakku menemuinya di penjara, kakak selalu menanyakan kabarku. Ibu selalu memaksaku berkunjung ke penjara untuk bertemu dengannya, tapi aku tidak mau. Aku tahu aku harus memaafkan kakakku. Mungkin aku sudah memaafkannya. Kakak sudah membuatku sakit, dan aku sudah memaafkannya. Tapi bertemu dengannya adalah hal yang berbeda. Mungkin selama ini aku tidak sungguh-sungguh memaafkannya."

"Kenapa kamu merahasiakannya, Pin?"

Aku menghapus setitik air mata di mukaku, kemudian berkata "Aku tidak tahu. Aku tidak ingin kamu mengetahuinya. Dulu, semenjak kejadian itu, teman-temanku jadi menjauhiku. Mungkin itu juga alasan kenapa aku belum memaafkan kakakku."

Budi terdiam sebentar, kemudian berkata "Aku paham kenapa kamu tidak pernah cerita."

"Jadi, sekarang giliranmu, Bud. Apa rahasiamu?"

"Apa kamu benar-benar ingin tahu?"

"Tentu saja. Aku sudah menceritakan rahasiaku. Sekarang giliranmu!"

Budi mengatur duduknya biar nyaman, "Baiklah kalau begitu. Kamu ingat ketika PERSAMI dulu?"

"Ingat. Ada apa?"

Dengan suaranya yang pelan Budi bercerita, "Em..., Aku bertemu dengan satu orang. Mungkin..., aku jatuh cinta dengannya." Budi tidak berani menatapku ketika bercerita.

"Cie... Dia pasti cantik."

"Tidak juga. Tapi dia manis. Aku melihatnya ketika PERSAMI selesai. Ketika itu dia menunggu untuk dijemput untuk pulang. Dia duduk di sana bersama dengan teman-temannya. Aku hanya melihatnya dari jauh."

"Seharusnya kamu dekati dia. Siapa tahu kamu bisa kenalan dan diajak ke rumahnya."

"Aku tidak seberani itu. Dia bersama teman-temannya. Walaupun dia sendirian, aku tidak berani mendekatinya."

"Sayang sekali. Kamu pengecut! Seberapa manisnya dia sampai bikin kamu jatuh cinta?"

Temanku ini tersenyum sambil memainkan jarinya, "Entahlah. Kalau kamu, apa kamu pernah jatuh cinta?"

"Aku tidak tahu. Aku tidak banyak bertemu orang. Ngomong-ngomong, apa yang kamu ingat dari dia? Apa kamu tahu dia sekolah di mana? Siapa tahu aku mengenalnya."

Senyumnya pudar. Dia menatapku, "Aku tidak tahu. Yang aku ingat adalah, ..."

"Apa?" tanyaku penasaran.

"Dia punya ... ," Budi memandang ke langit-langit, kemudian melanjutkan, "Dia pakai tas yang ada gambar kucingnya."

"Apa lagi yang kamu ingat?"

Budi kembali tersenyum, "Mungkin itu saja."

"Oh. Seharusnya dia sekolah tidak jauh dari sini. Mungkin kalau kamu beruntung, nanti kamu masuk di SMP yang sama, berkenalan, kencan, lalu jadi pacarnya."

Aku dan dia tertawa.

"Semoga aku beruntung," kata Budi.

"Jadi, setelah lulus nanti, kamu mau sekolah di mana?" tanyaku.

"Aku belum tahu. Mungkin SMP 3. Di sekolahmu."

"Kamu ini pintar. Seharusnya kamu bisa masuk SMP 1. Siapa tahu orang yang kamu sukai itu juga sekolah di sana."

"Bagaimana kalau dia tidak di sana?"

"Itu artinya kamu kurang beruntung. Mungkin kamu akan bertemu dengannya lagi di lain kesempatan. Jangan khawatir. Kalau kata orang jodoh itu nggak ke mana. Kalau bukan dengan dia, kamu pasti bisa temukan perempuan yang lebih cantik. Aku yakin dengan wajahmu yang tidak terlalu jelek ini bisa bikin perempuan naksir padamu."

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang