6

165 10 0
                                    


6

Semenjak tahu kalau Budi suka laki-laki, Gilang pura-pura tidak tahu apa-apa. Hari-hari berjalan seperti biasa. Pertemanan mereka berjalan seperti biasa. Gilang tidak bilang siapa-siapa. Tapi dia masih tidak menyangka dia punya teman seorang homo yang nantinya akan disiksa di neraka. Dari sebuah komik, Gilang tahu siksaan untuk orang-orang homo di neraka sangat sadis. Dalam hati Gilang tidak mau temannya itu disiksa seperti itu. Gilang membayangkan wajah polos Budi dalam komik itu.

Terbesit sebuah niat untuk mengingatkan Budi akan siksa neraka, biar Budi bisa bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Jadi, suatu hari setelah selesai mengaji, Gilang memanggil teman homonya itu dan mengajaknya ke toilet masjid. Gilang mengeluarkan sebuah komik siksa neraka dari tasnya.

"Kau harus baca komik ini!"

"Apa ini?"

"Komik siksa neraka."

"Kenapa aku harus baca ini?"

Gilang membuka satu halaman lalu menunjukkan gambar itu pada Budi. Itu adalah gambar laki-laki telanjang dengan posisi merangkak. Besi panjang menusuk anusnya menembus perutnya, dan keluar sampai ke mulutnya. Komik itu tidak berwarna, tapi Budi tahu yang keluar dari mulut laki-laki itu adalah darah. Budi ngeri melihat gambar itu.

"Sebaiknya kau segera bertobat sebelum terlambat. Jangan sampai kau disiksa seperti itu."

Gilang menutup komik itu, kemudian memasukkannya pada tas yang Budi gendong, "Kau bawa saja komik ini, buat kau baca di rumah."

Komik itu tidak pernah keluar dari tas Budi. Dia tidak pernah membukanya sama sekali. Gambar itu membuatnya ketakutan. Dia tidak bisa membayangkan kalau siksa neraka itu datang untuknya. Tak bisa membayangkan bagaimana rasanya besi panjang itu menusuk anusnya, merobek ususnya, memecah lambungnya, menggorok tenggorokannya, dan keluar lewat mulutnya. Buku komik itu akan mendatangkan mimpi buruk kalau dibaca. Takut akan mimpi buruk, Budi jadi susah tidur. Sebenarnya itu bukan kali pertama Budi nggak bisa tidur karena ketakutan.

Dulu ketika masih kecil, Budi juga pernah takut mimpi buruk sampai tidak bisa tidur. Saat itu Budi masih kelas 3 atau 4. Alasan dia tidak bisa tidur adalah karena ibunya bercerita tentang sinden yang mati penasaran, arwahnya gentayangan. Sinden itu dikeroyok warga dengan beringas, dikubur di sumur rumahnya sendiri ketika masih bernapas. Rumahnya dibakar buat meninggalkan jejak kejahatan warga. Banyak yang bercerita kalau arwah itu masih gentayangan untuk membalas dendam orang-orang yang pernah menyiksanya.

Saat itu Budi masih tidur bersama ibunya di depan TV. Dia belum berani tidur sendiri di kamar. Dan ketika tidak bisa tidur begitu, Budi menempelkan punggungnya ke tubuh empuk ibunya, menjadi guling yang dipeluk ibu dengan erat. Budi berharap hantu sinden itu tidak akan mengganggunya kalau ada ibu yang memeluknya. Budi senang ketika bapaknya mengaji di kamar ketika Budi dalam pelukan ibunya. Mendengarkan ayat suci dikumandangkan dengan merdu suara bapaknya, Budi merasa tenang. Rasa takutnya dengan hantu sinden itu jadi hilang karena dia percaya ayat-ayat indah itu akan melindunginya dari macam-macam hantu dan setan.

Cerita sinden itu mengingatkan Budi dengan film Suzzanna yang pernah dia tonton di TV, di mana hantu wanita berusaha mendapatkan keadilan dengan balas dendam pada orang-orang yang menyakitinya semasa masih hidup. Itu adalah cerita yang dulu bikin Budi takut. Tapi belakangan Budi sadar kalau yang perlu ditakuti itu bukan hantunya, hantu itu mungkin tidak ada. Yang perlu ditakuti adalah orang-orang beringas yang membakar rumah sinden itu. Bisa jadi orang-orang itu masih hidup, tidak seperti dua sinden malang itu yang mati tanpa mendapatkan keadilan. Dan bisa jadi nanti orang-orang beringas itu juga akan menghukumnya.

Buku komik pemberian Gilang itu benar-benar membuat Budi nggak bisa tidur. Tidak seperti ketika masih kecil dulu, kali ini ibu Budi nggak akan memeluknya biar bisa tidur. Suara merdu bapaknya ketika mengaji kini juga tidak mampu menenangkan hatinya, karena kitab yang bapak baca adalah kitab yang sama yang mengatakan bahwa orang-orang homo seperti Budi harus dibakar di neraka.

Kalau tidak bisa tidur begini, Budi akan melakukan satu ritual yang cukup ampuh untuk menenangkan pikirannya: masturbasi. Budi belum tahu istilah masturbasi, onani, coli, atau apa orang menyebutnya. Tapi dia sudah sering melakukannya. Dia mengenal ritual ampuh itu secara tidak sengaja. Saat itu dia masih kelas 4. Sebagai anak yang penasaran, dia suka mencoba hal-hal baru, salah satunya adalah bermain dengan burungnya. Ibunya sudah tidak memandikannya karena dia sudah bisa mandi sendiri. Dan itu memberinya kesempatan untuk mengeksplorasi tubuhnya.

Bapak baru memasang cermin di kamar mandi untuk membantunya mencukur kumis. Dengan cermin itu juga, Budi mengamati bentuk tubuhnya. Budi melepas bajunya, dia berpose di depan cermin seperti seorang binaragawan yang memamerkan otot lengan dan dada. Dia juga mengamati wajahnya, dia sadar ternyata sebenarnya dia cukup tampan.

Celananya juga dia lepas. Budi mundur sedikit untuk menyaksikan tubuh telanjangnya dalam cermin. Dia amati burungnya yang masih lemas itu di cermin. Bentuknya berbeda kalau dipandang dari sudut yang lain. Biasanya Budi hanya memandangnya dari atas. Dari cermin, burungnya terlihat lebih panjang, walau tidak lebih panjang dari burungnya Gilang yang pernah dia lihat.

Budi mengambil gayung lalu menyiram tubuhnya dengan air sampai basah. Dia mengambil sabun lalu menggosokannya di burungnya seperti biasa. Dia memandang ke arah cermin, dan dia mulai sadar kalau burungnya mulai berdiri. Dia menyabuni tubuhnya, meraba setiap permukaan tubuhnya yang licin penuh busa sabun. Dipandangi tubuh licinnya dalam cermin. Makin lama Budi memandang, makin keras burungnya berdiri.

Dia berdiri menyerong, biar dia bisa melihat burungnya di cermin dari samping. Dia pandangi burungnya yang berbusa itu, lalu dia pegang dengan tangannya. Dengan jarinya, dia pijat-pijat sambil melihatnya di cermin. Busa sabun itu membuat burungnya jadi licin. Dia terus memijat burungnya, memainkan kulupnya. Dia terus melakukan itu sampai ejakulasi pertamanya datang. Dia terkejut dengan sensasi itu. Rasa geli seperti meledak dari burungnya, lalu menyebar sampai ke seluruh tubuhnya. Dia kejang untuk beberapa saat. Tubuhnya lemas seketika. Napasnya terengah tak karuan. Budi berpegangan pada dinding yang menjaganya agar tetap berdiri.

Awalnya Budi kaget dengan sensasi yang asing itu, tapi dia mulai mengakui kalau dia menyukainya. Awalnya dia takut, tapi dia mulai berani untuk mencoba kembali. Budi mulai ketagihan dengan sensasi itu. Dia biasa melakukan ritual itu di kamar mandi atau di kamarnya sebelum tidur.

Ketika sedang masturbasi, Budi tidak membayangkan perempuan cantik atau wanita seksi. Yang dia bayangkan adalah tubuhnya sendiri. Tapi semenjak dia mengenal Kevin, Budi selalu membayangkan tubuh indahnya ketika sedang masturbasi. Budi selalu memejamkan mata, mengumpulkan ingatannya akan tubuh itu. Mengumpulkan bayang-bayang di kepala tentang wajah tampannya, tubuh indahnya, juga burungnya yang tenggelam mirip kepala kura-kura. Budi seharusnya berterima kasih pada Kevin karena bayang-bayang itu berhasil mengantarkannya pada kenikmatan dan mimpi indah.

Budi tidak ingat sejak kapan dia tahu kalau dia suka laki-laki. Tapi yang pasti, dia tidak pernah ingat dia suka perempuan. Sebenarnya dia pernah mengaku kalau dia suka dengan Nadia, tapi itu hanya untuk melindunginya dari Gilang yang suka mengganggunya karena Nadia kidal. Dulu Gilang suka mengejek Nadia karena menulis menggunakan tangan kiri. Saat itu Budi ikut kesal melihat temannya diganggu. Suatu hari Budi menghampiri Gilang dan bilang, "Jangan ganggu Nadia lagi!"

Kemudian Gilang bilang, "Memangnya kenapa? Dia itu memang aneh. Dia nggak bisa nulis pakai tangan kanan."

"Memangnya kenapa? Hanya karena dia berbeda bukan berarti kau boleh mengganggunya."

"Kenapa kau peduli dengannya? Jangan-jangan kau suka ya?"

"Bukan begitu maksudku."

"Aku tahu kau suka dengannya. Jangan ditutup-tutupi! Mengaku saja!"

Budi diam saja, jadi Gilang lanjut bicara, "Kalau kau memang suka dengannya, aku nggak akan mengganggunya lagi. Karena kau temanku."

Budi masih diam. Gilang melanjutkan, "Jadi, kau memang suka, kan?"

"Memangnya kenapa?"

"Tuh, kan! Aku sudah menebaknya. Tapi jangan takut. Aku nggak akan bilang siapa-siapa."

Budi memang dekat dengan Nadia. Dulu Budi suka ngobrol, bercanda, bahkan main bekel dengan Nadia karena dia memang asyik. Lagian dulu bangku mereka berdekatan. Pantas saja Gilang mengira kalau Budi menyukai Nadia. 

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang