22

168 11 0
                                    


22


Sudah lama semenjak mas Fajar pergi. Kerinduan itu mulai menghilang, digantikan dengan bayang-bayang UASBN yang segera datang. Jam tambahan pelajaran untuk siswa-siswi kelas 6 sudah dilaksanakan setiap setelah salat zuhur berjamaah di kelas yang selalu diimami oleh guru agama.

Di rumah, bapak sedang sakit. Ternyata orang seperti dia bisa sakit juga. Orang yang biasanya tampak galak dan sangar, kini hanya bisa terbaring lemah di kamarnya, tidur dalam belaian selimut motif bunga-bunga.

Tidak lama lagi sepertinya ibu akan melahirkan. Perutnya sudah melembung seperti balon raksasa. Dengan keadaan seperti itu, Ibu tidak dapat tidur bersama dengan bapak, karena ranjang di kamarnya tidak cukup luas untuk dipakai berdua. Ibu memilih tidur sendiri di ranjang baru yang dipasang di kamar salat. Setidaknya itu lebih murah daripada beli ranjang yang besar untuk ditaruh di kamar yang sempit.

Mungkin kalau sudah melahirkan, ibu akan kembali tidur bersama bapak di kamar. Dan ranjang yang baru dipasang di kamar salat akan dijadikan tempat tidur adiknya kalau sudah besar.

Ibu pernah menyuruh Budi untuk ngerokin bapaknya biar sembuh. Ibu menyuruh Budi karena dia mau berkunjung ke bidan untuk memeriksakan kandungannya. Ibu sudah menyiapkan minyak kayu putih, piring kecil, dan koin 100 rupiah gambar gunung. Budi tidak bisa kabur dari kewajibannya itu karena ibu sudah terlanjur pergi. Budi enggan untuk melakukannya karena bapak sepertinya masih tidur, dan Budi tidak mau membangunkannya. Lagian, Budi tidak tahu cara memulai pembicaraan dengan bapaknya semenjak dia dihajar di kamar mandi.

Jadi, dengan ragu Budi membuka pintu kamar bapaknya sambil membawa minyak kayu putih, koin, dan piring kecil. Di sana bapaknya sedang duduk bersandar di dinding. Di kasurnya tergeletak beberapa lembar obat yang dia dapat dari dokter beberapa hari yang lalu. Di tangannya, bapak pegang gelas berisi air yang baru dia minum bersama dengan obat. Dia menaruh gelas itu di meja ketika mengetahui kedatangan Budi.

"Ibu menyuruhku ngerokin Bapak," kata Budi dengan ragu.

Bapak melepas bajunya, kemudian duduk di pinggir kasur, memberi tempat untuk Budi duduk di belakangnya. Budi segera duduk di sana, kemudian dia taruh piring dan minyak kayu putih di kasur.

Ini bukan pertama kali Budi ngerokin bapaknya. Dulu dia pernah melakukannya, tapi tidak canggung seperti ini karena ibunya ikut menemani. Walau canggung, Budi tetap sudi melakukannya karena kasihan melihat wajah pucat bapaknya. Selain itu dia tahu caranya.

Budi mengolesi punggung bapaknya dengan minyak kayu putih sampai kulitnya yang gelap itu jadi basah dan mengkilap. Budi bisa merasakan tubuh bapaknya hangat seperti mangkuk bubur sumsum. Budi mulai khawatir dengan keadaan bapaknya yang belum ada tanda-tanda akan sembuh.

Budi mulai menggaruk koin itu di punggung bapak, menggambar garis-garis di sana. Budi meninggalkan bekas merah pada punggung bapaknya, bukan dengan sabetan sapu lidi, tapi dengan kerokan koin. Mustahil bagi Budi untuk membalas bapaknya dengan sapu lidi. Tapi setidaknya sekarang sudah impas. Bekas merah di punggung bapak itu adalah balasan dari sabetan sapu lidi yang pernah bapak buat di punggung Budi.

"Pak," kata Budi sambil menggosok punggung bapaknya dengan koin.

"Apa?"

Budi berhenti mengerok, kemudian dia bertanya, "Apa Bapak masih marah?"

Bapak berbalik, menatap Budi, kemudian bertanya, "Marah kenapa?"

Budi jadi menyesal telah bertanya begitu. Buat apa dia bertanya, dia sudah tahu jawabannya. Bapak mungkin tidak marah seperti dulu. Tapi Budi tahu bapak tidak akan bisa memaafkan dosanya. Dosa mencintai laki-laki. Budi berpikir bapak sakit gara-gara terlalu memikirkan dosa anaknya itu.

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang