5

174 12 2
                                    


5

Budi datang pagi itu dengan sepedanya, sama seperti dulu. Dengan semangat aku menyambutnya dan menyuruh dia masuk. Tanpa sungkan dia langsung naik ke atas menuju kamarku. Tingkahnya itu memang mengingatkanku pada dirinya yang dulu. Dia memang tidak berubah.

"Di mana kakakmu?" tanya Budi padaku sesampainya di kamar.

"Nanti dia masuk kerja pagi. Jadi sekarang dia masih mandi."

Aku mengambil remot dan menyalakan televisi. Dan gambar yang muncul di layar TV benar-benar bikin kita kecewa.

"Tinju."

Sayang sekali pagi itu nggak ada kartun yang tayang di TV. Bukannya mencari channel lain yang menayangkan kartun, Budi malah membujukku untuk keluar main layangan. "Ayo kita ke sawah! Layanganmu itu masih ada, kan?"

Aku ambil layangan itu. Aku kibaskan sampai debunya beterbangan di udara. Di sana Budi bangkit lalu merebut layangan itu. "Ayo!"

Aku dan dia turun ke bawah. Di sana kami temui kakakku yang baru keluar dari kamar mandi, masih mengenakan handuk di pinggang. Budi tampak malu dengan keberadaan mas David.

"Kalian mau ke mana?" tanya kakakku.

Budi diam saja. Jadi aku yang menjawab. "Ke sawah. Main layangan," jawabku sambil mengangkat layangan yang aku bawa.

"Ke sawah? Naik sepeda?"

Aku jawab "Iya."

"Memangnya kamu sudah boleh naik sepeda?"

"Boleh, lah. Nggak jauh, kok."

Ibuku datang, kemudian menyambut Budi dengan ramah, "Kamu sudah lama di sini?"

"Saya baru datang, Bu," jawab Budi dengan malu.

"Mereka mau ke sawah, main layangan," kata kakakku.

Ibuku melihat layangan yang sedang dibawa Budi. Kemudian dia melihatku dan bertanya, "Kamu mau naik sepeda?"

"Iya. Aku sudah sembuh, kok."

"Nanti kalau sakit lagi gimana?" kata mas David.

Budi berkata, "Aku bisa bonceng Kepin."

Semua mata tertuju pada bocah itu. Dia hanya diam menunggu yang lain ngasih tanggapan dari ucapannya itu.

"Kalau begitu hati-hati, ya!" perintah Ibu.

Aku dan Budi keluar untuk menghampiri sepedaku yang terparkir di samping mobil penyok. Di sana dia langsung naik dan menyuruhku duduk di belakang. Perlahan dia membantuku naik. Baru kali ini aku duduk di boncengan ini. Tempatnya memang empuk.

"Sudah siap?" tanya Budi kepadaku.

"Sudah! Ayo jalan!" jawabku. Aku duduk di belakangnya sambil pegang layangan.

Sepeda berjalan menyusuri jalan yang tak asing, jalanan yang mengingatkanku pada kenangan lama. Sebuah kenangan yang kembali terulang. Sepanjang perjalanan mulut Budi tak mau diam. Dia bercerita tentang pengalamannya sekolah di SMP 1. Dengan senang hati aku mendengarkan, seperti ketika dulu dia bercerita.

Pemandangan desa pagi itu begitu indah. Hangat matahari telah mengusir kabut pagi, tapi sejuk masih terasa di udara. Suasana langka yang jarang aku rasakan.

Tiba-tiba Budi berhenti mengayuh, dan dia tarik rem sepedanya sampai berhenti. "Kenapa berhenti?" tanyaku.

Dia menunjuk ke seberang jalan. Yang aku lihat di sana adalah dua bocah sedang berboncengan. Mereka adalah Gilang dan Nadia. Keduanya semakin mendekat, tapi sepertinya mereka tidak sadar dengan keberadaan aku dan Budi sampai Budi berteriak. "Kalian mau ke mana?"

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang