19

171 14 4
                                    


19

Sepulang mengaji, Budi menghampiri mas Fajar yang sedang mencari sandalnya di halaman masjid. Budi hendak menanyakan payung yang dipinjamnya.

"Apa kau sudah kembalikan payungku?" tanya Budi.

"Belum. Masih di rumahku."

"Oh. Tidak apa-apa. Kau boleh kembalikan kapan saja," kata Budi.

"Datanglah ke rumahku!" ajak mas Fajar.

Budi tersenyum. Berani juga mas Fajar langsung mengajaknya ke rumah. Budi belum sempat berkata, tapi mas Fajar sudah bilang, "Atau nanti aku antar payungmu."

"Apa rumahmu jauh?"

"Tidak terlalu. Nanti aku antar kau pulang naik motor. Tapi sekarang kita naik sepeda. Kalau kau mau."

Budi tidak langsung menjawab. Dia perlu berpikir sebentar sebelum berkata, "Baiklah. Tapi aku harus pulang sebelum magrib. Nanti ibuku mencariku."

"Oke."

Mas Fajar mengambil sepeda, kemudian dia menyuruh Budi untuk menaruh tasnya di keranjang sepeda. Mas Fajar naik di depan, Budi dibonceng di belakang.

Dalam perjalanan, kedua bocah itu tidak terlibat dalam pembicaraan apa-apa. Mungkin karena malu untuk berkata, atau karena tidak mau harus berkata apa, atau mungkin karena itu adalah perjalanan yang singkat. Tak sampai lima menit, mereka sudah sampai di rumahnya mas Fajar. Di sana mas Fajar memarkir sepeda jengki merah berkarat itu di samping motor. Dari penampakannya yang kotor dan kusam, Budi tahu motor itu sudah tua.

"Masuklah!" seru mas Fajar.

"Di mana ibumu?"

"Masih di warung. Sebelum magrib warungnya sudah tutup. Nanti aku akan menjemputnya. Kalau bosnya sedang baik kadang dia ngasih sisa makanan untuk dibawa pulang."

"Kalau begitu enak, dong."

"Tapi itu jarang."

Di dalam tidak ada siapa-siapa. Meja dan kursi kayu tersusun di sana, menandakan kalau itu ruang tamu. Ruang keluarga berada setelah ruang tamu, tanpa dibatasi pintu atau tirai. Jadi dari ruang tamu Budi bisa langsung melihat ada televisi dipajang di ruang keluarga. Kasur kapuk tergeletak di depan televisi bersama dengan bantal dan guling.

"Apa kau tidur di situ?" tanya Budi.

"Kadang-kadang. Tapi biasanya aku tidur di kamarku sendiri," mas Fajar membuka pintu kamarnya. Dia menaruh tas di meja kamarnya.

Budi melihat ada sesuatu di bawah ranjang itu. Karena penasaran, Budi jongkok, lalu mengambilnya. Itu adalah celeng, properti tari Jaranan berupa anyaman bambu bergambar babi hutan dengan taring yang panjang dan mata merah.

"Kau masih menyimpan ini," kata Budi.

"Ya. Sayang kalau dibuang. Kau masih ingat, dulu aku menari Jaranan di perpisahan sekolah?"

Budi berkata sambil tersenyum lebar disertai dengan sedikit tawa, "Aku ingat dulu bokongmu kena pecut. Kau kesakitan sambil pegangi bokongmu. Tapi kau malah ditertawakan penonton."

"Tapi pertunjukan harus tetap berjalan."

"Apa kau masih ingat gerakannya?"

"Tentu," jawab mas Fajar.

Budi menantang, "Kalau begitu menarilah. Aku mau lihat."

Budi menyerahkan celeng itu, tapi mas Fajar belum mengambilnya dari tangan Budi. Mas Fajar memasang senyum malu-malu. Dia pandangi celeng yang masih dipegang Budi itu.

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang