17
Malam itu hampir setengah tujuh, aku mengambil sepeda lalu menaikinya, meluncur di jalanan yang sudah hampir sepi. Bahkan suara ban sepedaku ketika bersentuhan dengan aspal yang basah bisa terdengar. Suara motor yang melintas tak bertahan lama, digantikan dengan suara cicak di rumah tetangga yang terdengar sedang memancing nyamuk untuk datang. Laron-laron beterbangan bermandikan cahaya lampu rumah-rumah dan lampu jalan. Penjual nasi goreng masih mendorong gerobaknya ditemani lampu petromak yang tergantung di sana, menyinari wajahnya yang keriput. Masih terlihat orang-orang baru pulang dari masjid sambil membawa sajadah mereka. Budi adalah salah satu dari mereka.
"Butuh tumpangan?" tanyaku.
"Kenapa kamu di sini?" Budi bertanya balik.
"Hanya lewat saja."
Budi naik di depan. Butuh tenaga sedikit lebih banyak untuk mengayuh sepeda setelah dia menumpang. Rumah Budi tidak jauh dari sini. Remang-remang jalanan diterangi oleh lampu yang terpasang di tiang. Dingin angin malam bertiup di kulit.
Sesampainya di rumah, temanku ini bertanya, "Nggak mampir?"
"Boleh," kataku.
Aku masuk ke rumahnya, disambut oleh ibunya Budi yang sedang menonton sinetron di televisi sambil makan kacang. Aku dan Budi masuk ke kamar. Di sana Budi melepas sarung dan baju kokonya.
"Sayangnya kita tidak bisa nonton TV karena remot sudah dikuasai ibu," kata Budi.
"Tidak apa-apa. Ngomong-ngomong bapakmu di mana?"
"Di masjid. Seharusnya tadi kamu juga lihat. Dia belum pulang. Ada Yasinan."
"Oh."
Setelah menyalakan lampu, Budi mengajakku untuk duduk di kasur bersamanya. Di atas kasur terdapat dua tas. Yang satu aku sudah mengenalinya. Dia bawa tas yang itu ketika sekolah. Sementara tas yang satunya belum pernah aku lihat sebelumnya.
"Kenapa kamu punya dua tas?" tanyaku.
"Biar nggak ribet. Yang satu buat sekolah, yang satu buat ngaji."
Aku ambil tas yang asing itu, lalu aku lihat isinya. Sebuah buku besar dan tebal yang dijilid hardcover. Sampulnya berwarna emas, mengkilap disinari lampu kamar.
"Jangan sentuh itu! Kamu belum wudu." Budi merebutnya lalu meletakkannya di pangkuan.
"Memangnya kamu sudah wudu?" Aku bertanya.
"Sudah. Aku belum kentut, jadi belum batal wuduku." Jawab Budi dengan senyum.
"Oh, begitu. Apa kamu mau membacanya?"
"Tidak. Apa kamu mau aku membacanya?"
"Sedikit saja. Aku belum pernah mendengarmu mengaji."
"Sebenarnya aku tidak pandai mengaji, tapi ..."
Budi membuka sebuah halaman yang sudah ditandai dengan kertas penuh dengan kolom yang diisi dengan tulisan tangan. Aku melirik dan membaca pada kolom itu berisi tanggal-tanggal dan tanda tangan. Budi menyisihkan kertas itu, kemudian membaca satu ayat. Merdu suaranya, masih nyaring khas bocah yang belum pubertas. Lirih dia membaca. Aku menyimaknya seperti sebuah nyanyian yang aku tidak tahu artinya. Setelah selesai, dia menyentuh mukanya dengan kedua tangannya seperti ketika selesai berdoa. Dia kembalikan kitab itu ke dalam tas. Aku melihat ada buku lain di sana.
"Itu apa?" Aku menunjuk.
"Ini buku catatanku. Kalau yang ini buku singir."
"Buku apa itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Budi
RomancePertemanan Budi dan Kevin dimulai dari sebuah perkenalan yang tak diduga. Keduanya menyimpan rahasia yang mereka jaga. Pertemanan mereka dipertaruhkan ketika Kevin mengenal Tiara, gadis yang pernah mengikuti PERSAMI bersama Budi. Saya menulis ceri...