5

602 14 1
                                    


5

Di depanku Budi terlihat seperti bocah yang pemberani. Tapi ternyata ada juga yang dia takuti. Awalnya dia tidak bercerita, tapi akhirnya aku tahu juga. Budi takut disunat.

Ketika masih kecil dulu, kalau Budi sedang nakal, ibunya selalu mengancam "Jangan nakal! Nanti kalau nakal kamu bakal disunat. Burungmu akan dipotong!"

Dan ternyata ancaman itu berhasil membuat Budi jadi takut dan berhenti jadi nakal. Tapi rasa takut itu terus menghantuinya.

Mungkin bukan cuma itu alasan kenapa dia sangat takut disunat. Ada satu kejadian yang membuatnya jadi trauma. Saat itu Budi masih kelas 3. Seperti bocah SD pada umumnya, dia suka bermain dengan teman-temannya. Petak umpet adalah permainannya. Budi tidak keberatan ikut bermain asalkan bukan permainan sepak bola. Sepulang sekolah adalah waktu yang tepat untuk bermain. Semua masih mengenakan seragam merah putih. Saat itu Budi yang jaga. Dia menunduk menghadap pohon sambil menghitung mundur, memberi kesempatan buat teman-temannya sembunyi. Setelah selesai menghitung, dia harus mencari teman-temannya yang sudah nyaman bersembunyi. Memang butuh usaha untuk mencari bocah-bocah itu, karena arena bermainnya cukup luas. Mereka bisa sembunyi di tempat-tempat yang tak terduga. Selain itu bisa juga bocah itu muncul tiba-tiba untuk menyentuh pohon sebagai tempat jaga dan membuat Budi kalah dan kembali jaga. Tapi akhirnya Budi berhasil menemukan teman-temannya yang bersembunyi, kecuali satu teman. Namanya Gilang.

Budi mencari Gilang ke mana-mana. Tapi dia juga harus siaga, jangan sampai Gilang menyentuh tempat jaganya. Awalnya Budi mengira kalau temannya itu sudah pulang dicari ibunya. Tapi ternyata dia sedang pipis di sana. Gilang mengencingi sumur yang dikenal sebagai sumur angker. Sumur yang sudah tidak ada airnya karena lubangnya sudah tertutup dengan tanah. Budi senang bisa menangkap basah temannya itu yang sedang pipis di sana. Rasa senang itu hilang ketika mendengar Gilang teriak kencang-kencang lalu menangis. Gilang memegangi burungnya yang terjepit resleting celana. Sambil menangis, dia mencoba melepaskan kulup burungnya yang terjepit. Tapi itu hanya membuatnya makin sakit. Makin kencang dia menangis. Awalnya Budi dan teman-temannya tertawa melihat Gilang menderita. Tapi karena Gilang terus menangis, mereka jadi kasihan. Budi mencoba untuk membantu tapi Gilang nggak mau burungnya disentuh karena sakit.

Akhirnya Budi dan teman-temannya mengantarnya pulang. Bukannya kasihan, ibunya Gilang malah marah-marah. Makin kencang Gilang menangis. Bapaknya Gilang mencoba menggunting celana yang masih dikenakan Gilang itu. Itu bikin Gilang makin takut dan makin kencang menangis.

Di hari yang sama, bapaknya Gilang mengundang dokter karena dia belum berhasil melepaskan burung anaknya. Dia juga nggak tahan mendengar anaknya terus-terus menangis.

Datanglah dokter itu. Pak Joko namanya. Satu-satunya dokter yang ada praktek di desa. Dikenal sebagai dokter yang ramah dan bersahaja. Beliau datang sambil membawa tas yang dijinjingnya. Tidak tahu apa isinya.

"Sekalian disunat, Pak," begitu kata bapaknya Gilang pada pak dokter yang sedang memeriksa anaknya. Mendengar bapaknya bilang begitu, si Gilang menangis menjadi-jadi sambil teriak "Aku nggak mau disunaaat...!"

Pak dokter menyarankan untuk memegangi bocah itu karena meronta-ronta. Budi dan beberapa temannya disuruh membantu untuk memegangi. Bocah itu dibaringkan di atas ranjang di kamarnya. Budi disuruh pegang salah satu kaki Gilang. Bocah itu hanya bisa menangis dan teriak. Tidak bisa bergerak apalagi kabur. Pak dokter menyiapkan peralatan yang sudah dia bawa di dalam tasnya.

Ibunya si Gilang berusaha menenangkan anaknya yang menjerit itu. Nampak di matanya kalau dia juga ikut sedih melihat anaknya harus kesakitan seperti ini. Dengan sabar dia mengelus rambut anaknya, juga mengusap wajahnya yang banjir air mata karena masih menangis.

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang