2

166 11 1
                                    


2

Kita tiba di rumah. Di sana ibu sudah menyambut dengan berdiri di depan teras. Dia tampak kaget dengan kemunculan Budi. Ibu dengan ramah mempersilakan Budi untuk masuk.

"Budi! Sudah lama sekali kamu nggak mampir ke sini. Si Kevin kangen main sama kamu."

Budi hanya tersenyum menanggapi keramahan ibuku. Bapak menunjuk Budi sambil tersenyum, "Ternyata dia itu anaknya pak Yadi, penjahit di pasar. Kebetulan tadi dia bantu bapaknya di sana."

Aku melihat bocah itu sedang memandangi jendela kamarku di atas. Mungkin dia juga memandangi parabola di atap sana.

"Tunggu apa lagi? Ayo masuk!" aku ambil tangannya dan aku tarik dia masuk rumah.

Ibu membantu kak David membawa bahan-bahan masakan yang dibawa dari mobil. "Kalian tunggu masakannya jadi, ya. Tidak lama, kok. Tapi pasti akan enak banget."

Ibu dan kakak pergi ke dapur buat masak ketika aku dan Budi naik ke atas menuju kamarku. Rasanya aneh ketika aku berjalan bersamanya di tangga. Rasanya seperti dulu, tapi ada yang berbeda karena aku gandeng tangannya. Dan dia tampak senang ketika aku melakukannya. Aku dan dia tersenyum karena malu dengan perbuatan itu.

"Apa kamu masih punya TV?" tanya Budi.

"Tentu saja," jawabku.

Kamarku masih tertutup ketika aku dan Budi sampai di sana. Aku biarkan Budi yang membuka. Dia melihatku dengan tersenyum sebelum memutar gagang pintu itu dan membukanya. Dia melongo melihat pemandangan kamarku yang tidak banyak berubah sejak terakhir kali dia di sini. Pandangan matanya berkeliaran ke tempat-tempat yang dulu tidak asing baginya. Aku langsung bisa merasakan kenangan itu muncul, kenangan ketika dulu kami menonton TV bersama, menikmati hari Minggu yang menyenangkan.

"Apa kamu masih punya layangan itu?" tanya Budi.

"Masih ada."

Aku berjalan menuju lemariku. Aku membukanya. Di sana aku dapati layangan yang dulu pernah aku mainkan di sawah bersama temanku ini. Benangnya masih tergulung di kaleng cat. Ekor warna-warni yang panjang itu masih terpasang utuh di sana. Aku mengangkat layangan itu, lalu menunjukkannya pada temanku yang dari tadi mengintip isi lemariku.

"Aku mau mengakui sesuatu padamu," kata Budi setelah merebut layangan itu dari tanganku.

"Apa?" tanyaku dengan sangat penasaran.

Dipandangi corak kain pada layangan itu. Dibelai ekornya yang panjang. Dia menjawab, "Bapakku yang bikin layangan ini."

"Apa? Dari mana kamu tahu?"

"Bapak ngasih layangan ini untukku. Aku yang memasangnya di atap rumahmu."

"Kenapa?"

"Biar aku punya alasan untuk bertemu denganmu," Budi masih memegangi layangan itu.

"Kamu ini aneh sekali," aku lihat muka temanku ini langsung layu ketika aku mengatakan kalimat itu. Jadi aku langsung tersenyum lebar dengan sedikit tawa sebagai tanda kalau aku tidak ada masalah dengan pengakuannya itu. Dan itu berhasil membuatnya ikut tersenyum.

"Mumpung masih libur, kapan-kapan kita main layangan lagi, yuk!" Budi menaruh layangan itu di meja.

Dengan semangat aku berkata, "Ayo. Ajak Nadia juga. Atau Gilang."

"Mereka sekarang jadi adik kelasmu, ya?"

"Iya. Aku pernah bertemu dengan mereka di sekolah."

Sama seperti dulu, Budi menyalakan televisi dan mengambil remotnya. Dia masih ingat caranya. Aku duduk bersandar di ujung kasur, ditemani Budi yang sedang pencet-pencet remot TV untuk mencari channel yang bagus. Akhirnya dia berhenti di channel yang menayangkan film SpongeBob. Sayangnya tak lama setelah itu, iklan muncul.

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang