15

162 10 0
                                    


15

Perpisahan Budi dengan Kevin memang sangat menyakitkan. Budi dihantui rasa bersalah karena dia tidak pernah minta maaf gara-gara dia jatuh cinta padanya. Budi merasa jatuh cinta dengan Kevin adalah sebuah kesalahan, walau dia paham benar kalau jatuh cinta itu datang begitu saja dan tidak direncanakan. Dan Budi merasa harus minta maaf karenanya. Dia harus minta maaf atas hari-hari yang menyenangkan bersamanya. Karena menyenangkan bagi Budi bukan berarti menyenangkan bagi Kevin. Mungkin setelah tahu kalau Budi suka dengan Kevin, dia jadi jijik untuk mengingat-ingat kenangan bersama itu.

Bukan hanya rasa bersalah yang menghantui Budi. Hari-hari indah itu sudah pergi dan kini Budi dihantui rasa rindu yang tak bisa ditahan. Rasa rindu yang hanya bisa diobati dengan sebuah pertemuan dengan Kevin.

Sepulang sekolah, masih mengenakan seragam Pramuka, Budi berlari menuju kamarnya, dia cari baju yang dipinjamkan Kevin. Dia taruh baju itu di lemari. Setelah ketemu, dia ambil kaos itu, kemudian dia memeluknya, dia pejamkan mata, membayangkan yang dipeluk itu adalah si pemiliknya. Tak sadar dia sudah terbaring di kasurnya masih pegang kaos itu. Budi membiarkan kaosnya Kevin tergeletak di atas tubuhnya yang sedang berbaring.

Budi jadi ingat, Kevin bukan hanya ngasih dia baju, ring hasduk yang sedang dia kenakan juga merupakan pemberian Kevin. Dia tarik ring itu sampai terlepas dari hasduknya. Kemudian dengan iseng, Budi buka resleting celananya. Yang dilakukan Budi selanjutnya memang menjijikkan, tidak terbayang kenapa bocah itu melakukannya. Kelakuan bocah kadang memang aneh-aneh. Dia memasukkan burungnya yang masih lemas ke ring hasduk itu seperti memasang cincin pada jari.

Tiba-tiba terlintas sebuah ide yang datang begitu saja. Budi segera bangkit lalu memasang kembali resleting celananya. Mungkin Budi nggak bisa bertemu langsung dengan Kevin untuk minta maaf apalagi mengobati rindu. Tapi setidaknya Budi bisa menulis surat untuknya. Biar Gilang yang jadi pengantar surat itu, Budi nggak keberatan kalau dia membaca suratnya karena Gilang sudah tahu semuanya. Dia memang bukan orang yang paling bisa dipercaya, tapi Budi nggak punya pilihan lain selain Gilang.

Budi duduk di depan meja belajarnya, kemudian dia menyiapkan selembar kertas dan pulpen buat menulis surat itu.

Tiba-tiba stiker yang menempel di meja itu mengingatkannya pada pertemuan pertamanya dengan Kevin ketika PERSAMI. Budi ingat benar ketika cinta pertamanya itu duduk bersama di toilet masjid, kemudian pipis bersama.

Pulpen sudah ada di tangan, Budi menulis.

Untuk Kevin.

Aku nggak tahu harus mulai dari mana, aku juga nggak tahu harus bagaimana. Semenjak pertemuan terakhir kita, aku jadi berantakan.

Aku berusaha untuk menjelaskan bagaimana perasaanku yang sesungguhnya. Kamu bisa lakukan apa saja setelah baca surat ini. Kamu boleh tetap membenciku, menjauhiku, atau berteman denganku. Tapi, kamu harus baca sampai selesai. Kamu bebas untuk bersikap apa saja.

Aku memang mencintaimu, kamu adalah cinta pertamaku. Kamu adalah laki-laki paling tampan yang pernah aku jumpai. Aku memang pengecut karena selama ini tidak pernah mengakui, tapi memang benar, aku suka denganmu. Dan aku mau minta maaf untuk itu. Aku minta maaf karena aku jatuh cinta denganmu. Aku jatuh cinta semenjak pertama kita bertemu. Mungkin kamu lupa, dulu kita pernah berjumpa di toilet masjid ketika PERSAMI, kita pipis bareng.

Aku mau kamu tahu kalau cinta itu datang begitu saja, dan aku tidak memilihmu sebagai orang yang aku cintai. Kalau cinta itu bisa dipilih, buat apa aku jatuh cinta dengan laki-laki, itu menyusahkan aku saja. Aku akan memilih untuk jatuh cinta dengan perempuan seperti kodratnya seorang laki-laki. Tapi sialnya aku menemukanmu. Mau bagaimana lagi, hatiku bilang kalau kamu adalah pujaan hatiku.

Setiap kita bertemu, aku bisa merasakan sesuatu, dan aku yakin itu perasaan cinta. Memang sulit untuk menggambarkannya, tapi aku yakin kamu sudah tahu rasanya karena dulu kamu pernah mengaku kalau jatuh cinta dengan temanmu yang namanya Tiara. Kira-kira begitulah rasanya aku ketika mencintaimu. Pertahankan cintamu dengannya kalau itu yang kamu suka.

Aku tidak bisa memaksamu untuk mencintaiku, sebagaimana kamu tidak bisa memaksaku untuk berhenti mencintaimu. Tapi setidaknya, kamu bisa memaafkanku dan kita masih bisa berteman. Aku tidak berharap lebih darimu.

Aku tahu kamu pasti jijik denganku kalau mengingat kita pernah mandi bersama dan tidur bersama. Aku tidak akan memaksamu melakukan itu lagi kalau kamu jijik. Aku hanya berharap kamu masih mau bermain layangan denganku atau menonton TV bersamaku lagi.

Anggap saja kamu tidak pernah tahu kalau aku mencintaimu, dan aku akan pura-pura kamu tidak tahu. Aku ingin keadaan menjadi seperti semula, sebelum kamu tahu yang sebenarnya.

Aku akan senang kalau kamu mau balas surat ini. Kalau memang surat balasanmu isinya cacian dan makian, tulis saja surat itu. Biar aku tahu kalau kamu sudah membaca surat ini.

Budi.

Surat itu masih tergeletak di meja belajar. Budi tidak memindahkannya ke mana-mana, siapa tahu nanti ada kata-kata yang mau ditambahkan. Karena Budi memang tidak yakin kata-kata yang tertulis dalam surat itu cukup untuk meyakinkan Kevin biar tetap mau menjadi temannya.

Keesokan harinya, Budi duduk di pinggir lapangan sekolah. Dia sedang menunggu Gilang yang sedang bermain sepak takraw bersama dengan beberapa temannya dan adik kelas. Itu adalah olahraga yang juga tidak disukai Budi karena dia tidak cukup lincah untuk ikut bermain. Mungkin permainan yang Budi suka hanya petak umpet dan catur.

Di tangan Budi ada es Marimas rasa mangga yang dibungkus plastik. Itu menarik perhatian Gilang. Jadi setelah selesai main, dia langsung menghampiri Budi tanpa harus dipanggil.

"Minta," kata Gilang sambil menunjuk Marimas yang dibawa Budi.

"Aku mau minta tolong sesuatu padamu." Budi memberikan marimasnya, kemudian Gilang merebutnya.

"Apa?" Gilang mencabut sedotan dari bungkus marimas, kemudian membaliknya. Dia sedot beberapa teguk Marimas rasa mangga itu. Segar sekali karena masih ada es batunya.

Budi tidak langsung menjawab. Dia melihat temannya yang masih penuh keringat itu. Sempat ada keraguan untuk meminta pertolongan pada Gilang. Tapi dia tidak punya pilihan lain. "Apa kau mau mengantarkan suratku untuk Kevin?"

Saking kagetnya, marimas yang diminum Gilang sampai keluar lewat hidung. Dia terbatuk-batuk sebelum berkata, "Apa? Jadi kau belum menyerah rupanya. Untuk apa kau berharap pada bocah itu?"

Budi menjawab, "Aku hanya mau minta maaf."

"Kenapa aku yang kau suruh?"

"Karena kau tahu rumahnya."

Gilang terdiam sebentar untuk berpikir.

Budi bertanya, "Jadi kau mau atau tidak?"

Gilang menjawab, "Baiklah. Mana suratnya?"

"Ada di tasku. Aku ambil dulu."

Budi segera pergi ke kelas, lalu mencari surat itu. Dan ternyata suratnya tidak ada di tasnya. Dia baru sadar kalau surat itu belum pindah dari meja belajarnya. Sial!

Gilang datang menghampiri Budi.

"Suratnya ketinggalan di rumah. Kalau begitu kapan-kapan saja, ya!" kata Budi.

Gilang mengangguk, kemudian bertanya, "Marimasnya aku habiskan, ya?"

"Terserah."

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang