10

426 15 0
                                    


10

Aku masih kelas 5 ketika kejadian mengerikan itu terjadi. Aku duduk di halaman luar sekolah menunggu bapak untuk menjemputku. Aku tidak pernah memilih untuk bersekolah di sekolah yang jauh dari rumah karena aku memang tidak bisa memilih. Dulu bapak berpikir sekolah di kota itu lebih baik karena banyak fasilitas yang mendukung dan gurunya lebih berkualitas dari guru di sekolah dekat rumah. Aku tidak bisa memastikan apakah itu benar atau tidak karena untuk membandingkannya aku juga harus sekolah di desa.

Sebenarnya sekolah di kota itu menyenangkan, aku bisa dapat teman dari berbagai tempat di kabupaten. Aku juga bisa menonton karnaval karena jalan raya di depan sekolahku adalah jalur karnaval. Setiap ada karnaval, pelajaran dihentikan dan semua diberi kesempatan untuk nonton karnaval di depan sekolah.

Tapi yang tidak aku suka adalah sekolahku jauh dari rumah. Setiap hari aku diantar dan dijemput ke sekolah. Kecuali hari Minggu tentu saja. Dan yang mengantar dan menjemputku adalah bapak karena sekalian dia berangkat kerja. Biasanya bapak menjemputku ketika jam istirahat kerja. Ibuku tidak bisa naik mobil atau motor. Jadi kalau bukan bapak, kak David yang menjemputku. Bapak tidak membiarkanku naik sepeda ke sekolah sampai aku kelas 6. Aku rasa itu cukup berlebihan karena teman-temanku yang lain sudah diperbolehkan naik sepeda ke sekolah sejak kelas 3.

Pada hari itu aku duduk di depan sekolah bersama dengan bocah-bocah lain yang menunggu dijemput. Banyak dari mereka yang menunggu sambil menghabiskan sisa uang saku mereka dengan membeli jajan atau mainan yang dijual di depan sekolah. Aku memilih untuk duduk saja karena aku akan menyisihkan uang sakuku untuk ditabung, walau sebenarnya perutku mulai berbunyi, pertanda minta diisi. Aku harus meyakinkan perutku untuk sedikit lebih sabar karena sebentar lagi bapak akan datang dan aku bisa langsung makan masakan ibuku yang lezat di rumah.

Aku menunggu cukup lama sampai bocah-bocah yang tadi ikut menunggu bersamaku sudah pulang semua. Yang ada hanya para penjual jajan dan mainan. Mereka menghitung uang hasil jualan mereka dan mereka siap buat pulang. Aku penasaran di mana bapak sebenarnya. Biasanya dia tidak terlambat begini. Dan penantianku itu terbayar ketika aku melihat mobil bapakku melintas dan berhenti di depanku. Tapi aku tidak melihat bapak di sana.

"Apa kamu sudah lama menunggu?" tanya kakak yang duduk di kursi kemudi.

Aku berseru "Tentu saja. Lihat! Sudah nggak ada siapa-siapa di sini!"

Aku masuk ke mobil lalu aku tutup pintunya keras-keras biar kakak tahu kalau aku sedang marah. Biar dia tahu juga kalau aku sedang lapar.

"Bapak ke mana?" aku bertanya.

"Dia ke pernikahan teman kerjanya. Ibu juga ikut. Nanti kita ke sana buat jemput mereka."

"Antar aku pulang dulu, ya! Aku sudah lapar sekali."

Kakak tidak menjawab. Dia masih fokus mengemudi. Aku memandangi mukanya dan aku menemukan kejanggalan. Tidak seperti biasa dia terlihat begitu. Tidak terlihat senyum di wajahnya.

"Kakak mabuk lagi ya?"

Satu tangan kakak memegangi kening. Aku mulai takut karena aku mulai sadar kalau ada aroma itu. Segera aku pasang sabuk pengaman.

"Aku akan bilang bapak," kataku.

"Jangan berani-berani!" dia menatapku.

"Jangan tatap aku seperti itu! Perhatikan jalannya!"

Kakak kembali menatap jalan. Dia mengurangi kecepatannya setelah aku tahu dia menyetir sambil mabuk. Berada di mobil dengan supir yang mabuk itu rasanya seperti naik kendaraan maut. Aku tidak yakin apakah aku bisa sampai rumah. Seharusnya tidak akan terjadi apa-apa karena tadi dia berhasil mengemudi sampai sekolahku.

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang