Bab 3: Mi Goreng Bumbu Kacang Ala Chef David

167 8 0
                                    


1

Rencananya setelah berenang, kakak akan mengajakku untuk mencukur rambut. Saat itu aku masih kelas 4 SD, aku masih belum diizinkan untuk ke tukang cukur sendiri. Jadi biasanya kakak yang mengantarku ke tukang cukur.

Tapi sayangnya pada saat itu tukang cukur yang biasa memangkas rambutku sedang tutup. Berboncengan dengan motor, kami berkeliling kota mencari tukang cukur yang lain. Kakak mencari tempat cukur yang sepi, jadi kita nggak perlu lama antre. Ternyata susah mencari tempat cukur yang sepi.

Kakak menghentikan motornya di sebuah rumah kecil yang ada papan bertuliskan "Potong Rambut" di dindingnya. Aku tidak paham kenapa dia berhenti di sana. Aku tidak yakin dengan tempat itu.

"Di sini saja," kata kakak.

Aku nurut saja karena aku tidak punya pilihan. Di sana tidak ada pelanggan lain selain aku dan kakak. Yang ada adalah seorang bapak. Dia tiduran di kursi sambil memeluk sebuah radio yang menyiarkan acara lawak. Melihat kedatangan kami, bapak itu langsung berdiri dan mempersilakan kami untuk masuk.

"Aku duluan," kata kakak. Dia duduk di depan cermin.

Bapak itu mengambil sisir lalu bertanya, "Mau dipotong gimana, Mas?"

Biasanya kalau ditanya begitu kakak selalu menjawab "Seperti biasa." Tapi karena bapak itu belum pernah memotong rambutnya, kakak berkata "Pendek, rapi. Yang atas disisir ke kanan."

Aku duduk menunggu sambil memandang jendela yang langsung mengarah ke jalan. Bapak itu mulai memotong rambut dengan alat cukur. Kakak seperti tidak senang dengan pekerjaannya. Terlihat dari mukanya yang cemas, kakak sepertinya nggak ikhlas rambutnya dipotong bapak itu. Dia pasti menyesal telah memilih tempat cukur yang salah.

Ketika selesai, kakak langsung membayar bapak itu, kemudian langsung mengajakku pergi. Bapak itu sempat menawarkan untuk mencukurku, tapi kakak sudah terlanjur naik motor. Mau tidak mau, aku harus ikut kakak. Dia tampak kesal sekali.

"Dia nggak becus mencukur rambutku. Sekarang kepalaku seperti kaktus," kata kakak sambil mengendarai motornya.

Aku tertawa, kemudian aku menghiburnya dengan berkata, "Menurutku tidak seburuk itu, Mas. Sebenarnya aku nggak keberatan kalau potong rambut di sana."

"Jangan! Nanti kepalamu jadi kaktus juga. Kita cari tempat lain saja, Vin," kata kakak.

Akhirnya kami tiba di sebuah tempat cukur yang tidak jauh dari alun-alun. Di sana sudah ada beberapa pelanggan yang mengantre sambil duduk-duduk.

"Apa kamu pernah ke sini, Mas?" tanyaku.

"Belum," jawab kakak.

Aku harus menunggu lama karena tidak seperti tempat sebelumnya, di sana banyak orang yang menunggu untuk dicukur. Aku sedikit kesal karena harus menunggu. Tapi sepertinya tukang cukur itu lebih ahli dari yang tadi. Mungkin penantian ini sepadan dengan hasilnya, walau sebenarnya aku tidak peduli. Aku bahkan tidak peduli kalau kepalaku jadi seperti kaktus.

Dan penantianku itu akhirnya terbayar juga dengan hasil yang seperti biasa. Setidaknya tidak seperti kaktus.

"Sekarang kita mau ke mana?" tanyaku setelah naik motor di belakang kakak.

"Pulang. Sebelum itu kita ke apotek dulu."

Kakak memang suka ke apotek. Bukan buat beli obat, tapi dia suka menimbang berat badannya dengan timbangan di sana. Katanya beratnya turun 4 kilo semenjak rajin berenang. Dia tidak selalu mengajakku ikut berenang bersamanya, tapi kalau aku ikut, dia mengajariku cara berenang. Awalnya aku takut masuk ke air, tapi dia bilang, "Kamu tidak akan tenggelam. Ini cuma satu meter."

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang