2

240 11 2
                                    


2

Malam itu Budi sudah ngorok di dalam tenda. Gilang membangunkannya malam-malam, menggoyang-goyangkan tubuhnya sampai dia bangun.

"Temani aku eek," begitu kata Gilang.

Awalnya Budi pura-pura tertidur, tapi Gilang tahu kalau dia hanya pura-pura setelah Gilang soroti muka Budi dengan senter. Budi terbangun. Dengan terpaksa dia antar Gilang ke toilet.

Para peserta dan panitia PERSAMI memanfaatkan toilet masjid karena dekat dengan lapangan. Warga sekitar juga dengan baik hati meminjamkan kamar mandi mereka. Tapi karena sudah malam, yang dituju Budi dan Gilang adalah toilet masjid. Sepanjang perjalanan menuju toilet, Budi melihat tenda-tenda yang berdiri di atas tanah lapangan, tersusun seperti rumah-rumah kecil dengan jalanan yang berumput. Masih menyala lampu di beberapa tenda itu, memperlihatkan bayangan penghuninya yang melakukan berbagai aktivitas. Ada yang bercengkrama, ada yang makan, ada juga yang salat. Tapi kebanyakan dari mereka sudah tertidur karena memang sudah malam.

Sesampainya di toilet masjid, Budi duduk di kursi panjang dan bersandar di dinding, menunggu temannya yang masih buang air besar di dalam. Budi sangat mengantuk saat itu, dia berkali-kali menguap. Tapi rasa kantuk itu tiba-tiba hilang ketika datang seorang bocah yang duduk di sampingnya. Rupanya dia mau pipis dan sedang menunggu toilet yang masih penuh. Melongo Budi memandangi wajah mengantuk itu. Dia baca tanda pengenal yang terpasang di baju bocah itu. Kevin. Budi membisikkan dalam hati nama itu berulang-ulang, "Kevin... Kevin... Kevin... Namanya Kevin."

Sempat terbesit niat di pikiran Budi untuk memulai sebuah pembicaraan, sebuah basa-basi. Mungkin berkenalan. Jangan. Terlalu tiba-tiba untuk berkenalan. Mungkin bilang "Hai." Jangan. Itu mungkin tidak sopan. Tanyakan soal kegiatan tadi siang. Jangan. Budi tidak tahu bagaimana harus bersikap. Mungkin memang begitu rasanya jatuh cinta. Senang hatinya memandangi wajah yang manis itu. Tapi juga sedih karena dia mengira pertemuan itu tidak akan terulang kembali. Dia malu untuk memulai pembicaraan.

"Kamu mau pipis juga?"

Bukan Budi yang bertanya begitu. Tapi aku. Aku nggak ingat kalau bocah yang aku temui di toilet itu adalah Budi. Cahaya lampu dan rembulan tidak cukup terang untuk menyinari mukanya.

Budi tidak menduga kalau Kevin yang memulai percakapan. Dan dia tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Gemetar tubuhnya. Dia tidak tahu ke mana harus memandang.

"Iya," begitu jawabnya.

Pintu salah satu toilet terbuka dan keluar satu orang bocah. Itu bukan Gilang karena Gilang sedang berak di toilet sebelahnya.

Aku bilang, "Sudah ada yang kosong, tuh! Kamu duluan saja!"

"Kamu duluan saja, Mas!" kata Budi dengan manis.

"Bukannya tadi kamu yang datang duluan?"

"Kalau begitu kita pipis bareng saja." Budi langsung hilang semangat, merasa dia salah bicara. Dia juga tidak tahu kenapa dia bilang begitu. Tidak tahu ide itu datangnya dari mana. Yang jelas dia langsung menyesal.

Aku hanya tertawa mendengar dia bilang begitu. "Kamu lucu sekali!"

Kemudian aku berdiri dan masuk ke toilet yang masih kosong itu.

"Katanya mau pipis bareng?" tanyaku dengan niat bercanda.

Budi berdiri dan ikut masuk ke ruang yang sama. Aku kaget dia beneran ikut masuk. Aku hanya menanggapinya dengan senyum sambil berkata, "Sudah kebelet, ya?"

"Iya," begitu jawabnya dengan singkat.

Lampu yang terpasang di langit-langit toilet terang sekali malam itu sampai noda-noda lumut yang melekat di dinding keramik terlihat jelas. Aku dan Budi pipis di tempat pesing itu. Mengeluarkan air kencing yang sejak tadi aku tahan. Lega rasanya. Suara gemericik mengurai kesunyian dalam toilet.

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang