12

168 14 0
                                    


12

Biasanya yang mengumandangkan azan Asar adalah Gilang atau mas Fajar. Dulu juga ada bocah lain, tapi sekarang mereka sudah tidak ngaji lagi di masjid. Pada hari itu, mas Fajar dan Gilang belum datang, padahal sudah waktunya azan berkumandang. Bocah-bocah yang sudah hadir di masjid saling suruh untuk mengumandangkan azan. Tidak ada yang mau karena mereka belum pernah melakukannya sebelumnya.

"Kau saja yang azan. Suaramu bagus. Tidak seperti suaraku," suruh Dimas pada Budi.

"Kenapa aku? Aku belum sunat. Mana boleh azan?" kata Budi.

"Itu bukan masalah. Nggak ada yang tahu kalau kau sudah sunat atau belum," kata Dimas.

"Kenapa kita tidak menunggu mas Fajar atau Gilang saja?" saran bocah lain.

"Kalau mereka tidak datang gimana? Sekarang sudah waktunya azan. Kalau nggak segera berkumandang, nanti kita kena marah juga," kata Dimas.

"Kau saja!" kata Budi sambil menunjuk Dimas.

"Sudah aku bilang, suaraku jelek. Nanti kalau sumbang jangan ketawa, ya! Jadi aku yang pukul beduk, kau yang azan," kata Dimas.

"Baiklah kalau begitu," kata Budi yang kemudian dia berdiri mengambil mikrofon yang bertengger di mimbar masjid.

"Kau yakin?" tanya Dimas.

"Iya. Kau sendiri yang memaksaku. Sekarang cepat pukul beduknya!"

Dimas segera bangkit lalu berjalan menuju tempat beduk itu berada. Dia mengambil pemukulnya, kemudian dengan keras dia pukul pentungannya, sesuai dengan irama yang biasa. Kemudian beduknya juga dia pukul dengan irama yang biasa.

Beduk berhenti berbunyi, kini giliran Budi yang beraksi. Dia ambil napas dalam-dalam, mengumpulkan keberaniannya untuk mengumandangkan azan. Dia pegang mikrofon dengan tegas di depan mulutnya. Tanpa ragu, dia keluarkan suara lantang itu dari mulutnya, ditangkap mikrofon, kemudian disalurkan lewat kabel menuju pengeras suara yang terpasang di menara masjid, membuat lantunan azan bocah itu didengar orang-orang biar datang untuk salat bila hatinya terpanggil. Dan di hari itu, Kevin mengenali suara azan itu. Dia mendengar lirih suara azan itu karena jarak rumahnya agak jauh dari masjid. Kevin sangat hafal dengan suara Budi. Dia sangat yakin Budi yang memanggilnya. Dia ambil sepedanya, lalu meluncur ke sumber suara itu. Makin dekat, suara itu makin keras, makin jelas kalau itu memang suara Budi.

Setelah selesai mengumandangkan azan, Budi duduk di saf paling depan, melantunkan pujian bersama bocah yang lain, menunggu kedatangan imam yang merupakan guru ngajinya. Dimas memuji keberanian Budi mengumandangkan azan, walau dia tidak bilang kalau suaranya bagus atau jelek.

Gilang datang membawa kabar, dia duduk lalu berkata pada Budi, "Pacarmu mencarimu."

Kata-kata Gilang itu bikin semua bocah yang ada di sana menengok ke belakang. Budi juga melihat ke belakang, dia langsung tahu kalau yang sedang berdiri di balik pagar itu adalah Kevin, pujaan hatinya. Dia diam di sana, menunggu Budi datang. Jadi dengan semangat, Budi langsung menyerahkan mikrofonnya pada Dimas, kemudian dia berjalan mendekati Kevin yang sudah menunggunya.

Tadinya Budi hilang harapan, dia mengira tidak akan bertemu dengan pujaan hatinya lagi karena perkelahian yang menyakitkan itu. Dia mengira Kevin akan membencinya, seperti bapaknya yang sudah mengusirnya dari rumah. Tapi ketika Budi melihat bocah itu berdiri di pagar masjid dengan memasang muka penuh harapan. Dari situ Budi sudah tahu kalau Kevin juga masih mengharapkannya.

"Sedang apa kamu di sini? Kamu mau ikut ngaji? Kamu mau masuk Islam?" tegur Budi sambil sedikit tertawa.

"Jangan konyol! Aku mau beli makanan ke warung. Kebetulan aku lewat sini."

"Oh," Budi tidak tahu harus memulai topik pembicaraan. Dia membiarkan kawannya itu untuk melanjutkan bicara.

"Aku hanya mau minta maaf. Soal kemarin. Aku sangat menyesal," kata Kevin dengan ragu. Dia tampak malu-malu.

"Aku juga. Jadi, lupakan saja itu," Budi menanggapi dengan tegas, tapi juga malu-malu.

"Jadi, kamu nggak marah?" Kevin mulai berani menaikkan nada.

"Tentu saja tidak."

"Kenapa kamu tadi nggak ke rumahku?" tanya Kevin.

"Aku takut sama bapakmu. Lagian tadi hujan. Jadi mungkin minggu depan." Itu adalah alasan yang sebenarnya. Dia takut bapaknya Kevin menghalangi dua bocah itu untuk bertemu.

"Maaf soal bapakku. Sebenarnya tadi dia tidak di rumah. Ngomong-ngomong kasetmu masih di rumahku."

"Aku tahu. Kamu simpan saja."

"Terima kasih. Aku pergi dulu, ya?"

"Iya."

Kevin mengambil sepedanya, kemudian dia hendak pergi.

"Bukannya warungnya ada di sana, ya?"

"Aku lupa. Sampai jumpa!"

Budi tidak langsung kembali masuk masjid ketika Kevin pergi. Budi masih berdiri di sana, melihat Kevin yang sedang bersepeda sampai hilang dari pandangan. Hatinya diselimuti kebahagiaan ketika tahu Kevin tidak marah padanya. Bahkan dia mulai berpikir kalau jangan-jangan Kevin juga suka padanya. Itu terlampau mustahil untuk diharapkan, tapi siapa tahu memang begitu kenyataannya.

Ketika kembali duduk bersama teman-temannya, budi disoraki Gilang dan Dimas, "Cie... cie..."

Budi hanya tersenyum melihat tingkah teman-temannya itu. Tersipu malu karena kini kedua temannya itu sudah tahu tentang cintanya. Dan nampaknya mereka tidak keberatan dengan itu.

Bocah-bocah yang lain hanya melongo, karena mungkin mereka terlalu kecil untuk mengerti kalau Budi jatuh cinta dengan lelaki.

Tak lama setelah itu mas Fajar datang. Untuk pertama kalinya dia tidak mengganggu Budi. Dia malah mengabaikan Budi, seperti menganggap Budi tidak ada. Dan untuk hari-hari berikutnya tetap sama saja, dia tidak pernah mendekati apalagi mengganggu Budi.

Itu bikin Budi bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi padanya. Kemarin dia mengaku menyukai Budi, tapi setelah itu dia malah mengabaikannya. Sebenarnya Budi senang dia tidak mengganggunya lagi. Tapi sikapnya itu bikin Budi bingung. Apa memang benar mas Fajar takut dosa? Mungkin dia menganggap berdekatan dengan Budi sudah termasuk dosa karena itu membangkitkan nafsunya.

Kalau itu memang dosa, Budi pasti sudah banyak menabung dosa karena jangankan mendekati, Budi pernah mandi bareng bocah yang dia sukai.

Atau jangan-jangan mas Fajar malu mengakui kalau dia suka dengan Budi. Bisa jadi dia menyesal sudah mengaku dan berharap rahasia itu tetap terjaga. Dia takut kalau Budi akan membocorkan rahasia itu.

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang