7

524 17 0
                                    

7

Aku dan Budi langsung menuju sepeda yang tadi aku taruh di bawah jembatan. Dia masih ada di sana. Kami bergantian boncengannya. Kali ini Budi yang mengayuh dan aku yang duduk di depan.

"Rasanya aneh," kataku.

"Aneh kenapa?"

"Tidak pakai celana dalam."

"Kamu akan terbiasa."

Duduk di sini membuatku bisa membaca nama yang tercantum di seragam Pramuka yang dikenakan Budi. Aku bisa membaca nama temanku itu, "Wahyu Budianto A."

Kolom itu tidak muat untuk diisi namanya dengan lengkap. "'A' itu singkatan apa?"

"Rahasia."

"Kok rahasia? Kenapa rahasia?"

"Pokoknya rahasia."

Temanku itu rupanya sedang memperhatikan nama di seragamku. Dari posisinya, dia agak kesulitan untuk membaca, "Kevin Adi Prayoga." Dia tersenyum setelah membaca namaku.

Sepanjang perjalanan, aku dan Budi asyik berbicara tentang Naruto. Tiba-tiba, seseorang memanggilku, tapi bukan dengan namaku. Dia adalah tetanggaku. "David. Kenapa kau di sini?"

Aku hanya mengangguk sambil memasang senyum palsu, sebagai bentuk kekesalan karena dia memanggilku dengan nama itu. Budi terus mengayuh sepedanya sampai tetanggaku itu tak terlihat.

"Yang tadi itu siapa?" tanya Budi penasaran.

"Tetanggaku," jawabku singkat.

"Kenapa dia panggil kamu David?"

"Rahasia."

"Kok rahasia? Kenapa rahasia?"

"Pokoknya rahasia."

Sesampainya di rumah Budi, dia bilang, "Kamu jadi ikut ke rumahku tidak?"

"Boleh," jawabku.

Ibunya Budi menyambutku dengan ramah. Dia sedang menjemur pakaian. "Tumben, kok baru pulang?"

"Habis berenang di sungai," jawab Budi.

"Cepat mandi, sana! Nanti gatal kalau tidak mandi."

Ibunya Budi melihatku "Kamu Kepin, ya?"

"Iya, Bu," jawabku.

"Oh. Budi suka cerita tentang kamu. Kamu ikut mandi juga, ya! Nanti gatal, loh!"

"Iya, Bu."

Sepatu dan kaos kaki kami lepas dan kami taruh di depan pintu rumah. Budi menyuruhku untuk menaruh tas di ruang tamu. Di sana ada sebuah TV yang tidak sedang menyala.

Budi menggantung hasduknya di dekat pintu kamar bersama dengan dasi dan ikat pinggangnya. Kemudian dia menunjukkan kamar mandinya yang ada di halaman belakang. Di sana ada sumur. Kamar mandinya ada di samping sumur itu. Pada dindingnya ada lubang yang langsung mengarah pada bak mandi di dalam. Bak mandi itu tertanam permanen di sana. Dibangun dari tumpukan batu bata dan semen.

"Airnya habis," kataku.

"Kalau begitu kita mandi langsung dari sumur saja."

"Bagaimana?" tanyaku heran.

Budi melepas pakaiannya lalu menaruhnya di atas dinding kamar mandi. Dia mencemplungkan ember ke sumur lalu menimbanya. Dia menarik kuat-kuat. Kemudian ketika embernya datang, dia tumpahkan airnya ke tubuhnya yang telanjang. Cipratannya ikut membasahi tubuhku seperti gerimis.

"Kamu mau mandi atau tidak?" tanya Budi.

"Nanti saja. Setelah kamu selesai," jawabku ragu-ragu.

"Jangan malu-malu. Aku tadi sudah lihat burungmu."

Budi mengambil sabun lalu menggosoknya ke tubuhnya hingga keluar busa. Aku lepas baju dan celanaku dan menaruhnya di tempat Budi menaruh pakaiannya. Tanganku masih menutupi burungku karena malu. Aku pergi ke pojok. Di lantainya ada lubang pembuangan air yang kecil. Aku pipis di sana.

Budi menjatuhkan kembali ember ke sumur. Dia ambil talinya lalu bilang "Mau coba?"

Aku mengangguk. Untuk menimba air, aku harus melepaskan tanganku dari burungku. Ketika aku raih talinya, Budi senyum-senyum memandangi burungku. Itu membuatku malu.

Aku menarik talinya sampai embernya datang dengan air yang penuh. Budi membantuku mengambilnya, kemudian dia tumpahkan airnya ke tubuhku. Dari kepala sampai kaki basah semua. Budi menyerahkan sabun yang baru dia pakai. Aku gosok sabun itu ke tubuhku sampai keluar busa. Budi ambil sampo saset. Dia gigit kemasannya untuk membukanya. Dia pencet sampo itu di atas kepalaku sampai isinya keluar dan menempel di rambutku. Sisa samponya dia gunakan sendiri di kepalanya.

Sambil keramas, Budi bilang "Kamu tahu tidak, Pin? Ternyata Nadia suka sama kamu."

"Hah? Kata siapa?"

"Dia bilang sendiri. Dia bilang kamu ganteng dan manis."

"Itu benar, sih."

"Tapi menurutku aku lebih ganteng dari kamu."

"Hahaha... Jelas-jelas aku lebih tampan."

"Tapi burungmu kecil."

"Biarin! Yang penting ganteng."

"Jadi bagaimana? Apa kamu juga suka dengan Nadia?"

"Dia asyik, sih. Tapi sepertinya belum saatnya aku pacaran."

"Jangan bilang siapa-siapa kalau aku bilang Nadia suka sama kamu."

"Aku tidak akan bilang siapa-siapa. Tapi jangan bilang siapa-siapa kalau burungku kecil."

"Aku tidak akan bilang siapa-siapa."

Budi kembali mengambil air dari sumur. Kali ini aku yang membantunya menuangkan air ke tubuhnya untuk menghilangkan busa. Tidak sengaja busa sampo masuk ke mataku. Merem aku seketika sambil berkata "Mataku kemasukan sampo. Perih."

Budi segera menuangkan air yang tersisa di ember ke mukaku kemudian aku kucek mataku dengan air itu.

"Masih perih?"

Aku mengangguk.

Dengan jari telunjuk dan jempolnya, Budi membuka mataku yang terkena sampo. Dia meniup mataku. Setelah itu aku kedip-kedip sampai keluar air mata.

"Kenapa kamu tiup mataku."

"Biasanya kalau kelilipan matanya ditiup."

"Aku tidak kelilipan."

Setelah selesai mandi, Budi mengambil handuk yang tergantung di dinding lalu mengerikan tubuhnya dengan handuk itu. Kemudian dia meminjamkan handuknya itu kepadaku.

Aku mengenakan kembali seragam Pramuka yang tadi aku gantung.

Aku diajak ke kamarnya Budi. Di sana dia mengambil baju di lemarinya. Kamarnya lebih sempit dari kamarku, tapi cukup untuk menaruh meja belajar di sana. Ternyata Budi tidak berbohong. Dia benar-benar pernah mengikuti PERSAMI itu. Dia sudah menempelkan stikernya di meja belajar.

Setelah selesai berpakaian, Budi mengajakku untuk menonton TV. Sebelum itu dia ambil sesuatu dari laci meja belajarnya. Itu adalah tato yang dia dapat dari permen karet.

"Apa kamu mau pakai ini?"

"Boleh."

"Kamu mau memasangnya di mana?"

"Di sini," aku buka lenganku.

Budi mengupas plastik tatonya, kemudian menempelkannya ke lenganku. Dia menggosoknya dengan kuku. Itu adalah tato gambar naga. Budi melepas plastiknya. Naga itu menempel di lenganku.

Budi menyalakan TV yang berukuran kecil. Ketika aku duduk, Budi bilang "Jangan dekat-dekat TV!"

"Kenapa?"

"Nanti ibuku marah."

Aku mundur. Budi ikut duduk di sampingku. Dia pencet-pencet tombol di remotnya. Dia gonta-ganti channel-nya. Jam segini hampir semua stasiun TV menayangkan program berita. Budi berhenti di satu channel. Gambar di televisi tidak jernih, seperti banyak semutnya. Tapi aku tahu yang sedang tayang adalah Bolang.

"Mereka berenang di sungai seperti kita tadi," kataku.

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang