Lia sedang berjalan dengan cepat menuju parkiran sambil sesekali tersenyum saat ada yang menyapanya.
"Jina!"
Ya ... sepertinya Lia tidak bisa tersenyum dan lanjut berjalan ketika mendengar suara itu.
Nyatanya cewek itu sekarang berhenti dan berbalik ke sumber suara.
Dan ya, yang memanggilnya itu Soobin.
"Kenapa?"
Soobin yang sudah sampai di hadapan Lia menunduk kemudian tersenyum, menampilkan lesung pipinya yang membuat cowok itu makin manis.
"Lo nanti ada acara?"
"Ada, sih ... mau ngumpul bareng sepupu. Kenapa? Mau ngajakin jualan kayak kemarin?" tanya Lia sambil mendongakkan kepalanya.
Bian, lo tinggi banget sih ...
"Hehe, iya." Soobin nyengir, Lia kena mental. "Besok gimana?"
"Bisa, kok." Lia tersenyum. "Um ... kalo gitu, bye-bye. Sampai ketemu besok."
Soobin menggaruk tengkuknya. "Bye-bye, hati-hati di jalan."
***
"Hey you!" Minho berjalan santai menuju Nakyung yang sedang duduk gabut di bangku lapangan.
"Lo kayaknya sering keliaran di kampus deh, Mas. Mau jadi penghuni kampus?"
"Ngawur." Minho menoyor kepala Nakyung terlebih dahulu kemudian duduk di sebelahnya. "Lo ngapain di sini?"
"Gue tadi ijin ke toilet sebenernya, hehe."
Minho mengangkat alisnya, terkejut. "Lah, nggak balik?"
"Nanti deh. Gue males ngeliat wajahnya Juna."
"Kenapa?"
"Takut nggak bisa move on."
Mendengarnya membuat Minho tertawa renyah. Dia menepuk-nepuk pundak Nakyung. "Bisa, kok. Kalo lo udah niat dan berusaha, pasti bisa."
"Tapi kan Mas ..." Nakyung menoleh, menatap yang lebih tua. "Juna kayak nggak rela kalo gue mau move on dari dia. Maksudnya apa coba?!" Dia menggerutu.
"Edi tau kalo lo suka sama dia?"
Nakyung mengangguk.
Minho menumpukan sikunya di paha, kemudian menopang dagu. "Mungkin yang dibilang Arley bener, Sen. Edi pacaran sama Jihan buat pastiin kalo dia suka sama lo atau enggak."
"Kalo mau pastiin hal kayak gitu masa sampe pacaran ..."
"Ya ... cara tiap orang beda-beda sih, Sen."
"Tapi gue juga dideketin cowok lain ih, Mas."
"Siapa, tuh? Kok ada ya orang yang mau deketin lo?"
"Heh!" Nakyung memukul lengan Minho kuat, hingga cowok itu mengaduh. "Lo kenal nggak sih sama komplotannya Jerry?"
"Kenal, lah. Gue kan baru beberapa bulan lulus."
"Itu, temennya yang namanya Jeno."
"Oh? Dia deketin lo?"
Nakyung kembali mengangguk.
Minho pun kembali menepuk pundak Nakyung. "Ya udah, kalo emang mau move on mending ke Jeno. Atau mau gue bantu move on?" Cowok itu menaik-turunkan alisnya.
"Hah?" Nakyung loading. Setelah paham, dia memukul paha Minho. "Nggak! Mana mau gue sama lo!"
Minho terbahak.
***
"Gimana tadi interviewnya?"
Minho yang sedang menyetir tiba-tiba mendapat telepon dari Moonbin, dan berakhir dia meletakkan ponselnya di dashboard sambil menyalakan loud speaker.
"Nggak gimana-gimana."
"Lo diterima?!"
"Nggak."
"Lo ditolak? Lo ngelakuin apa yang gue ajarin kemarin nggak, sih?!"
"Emang lo ngajarin gue apa?"
"Itu file yang gue kirim lewat WA! Nggak lo baca, ya?! Trus tadi lo jawab pertanyaannya gimana, hah?!"
"Ya jawab sebisa gue."
"Oke, bentar deh. Reka ulang adegan." Moonbin berdehem. "Bisa ceritakan tentang diri kamu?"
"Cerita kayak gimana, Mbak? Mbaknya mau mengenal saya lebih dalam? Maaf Mbak, walaupun saya baru putus tapi saya nggak selera sama yang lebih tua." Minho mengulangi perkataannya.
"Serius lo ngomong kayak gitu?" Moonbin tidak percaya.
"Serius."
"Langsung didepak nggak?"
"Nggak, ditanya kelebihan sama kekurangan gue."
"Terus lo jawab gimana?"
"Saya nggak tau kekurangan saya, tapi kelebihan saya itu ganteng."
"Goblok sia."
"Heh, puasa."
***
Winter hendak keluar dari gerbang saat tiba-tiba tangannya ditahan seseorang. Menoleh dan mendapati Jaemin.
Mereka saling bertatapan sebelum akhirnya Jaemin berdehem. "Lo mau balik?"
"Yang lo liat gimana?"
Jaemin meringis. "Gue anter, ya? Nggak ada yang nganterin, kan?"
"Akhirnya peka juga." Winter bergumam. Ia tersenyum senang. "Ya udah, ayo. Sekalian ngirit ongkos gue." Cewek itu berjalan menuju parkiran. Jaemin mengikutinya.
"Emang lo kalo pulang sendiri naik ojol? Emang berani?" Jaemin bertanya sambil mensejajarkan langkahnya dengan Winter.
"Ya nggak, sih." Winter menoleh sebentar untuk menatap Jaemin sebelum akhirnya kembali menatap lurus ke depan dengan sebuah senyuman. "Gue pulang pake bis biasanya."
Lucunya ... pulang pake bis.
Tangan keduanya menjulur ke bawah, bergerak sesuai irama langkah mereka. Hingga akhirnya tangan Jaemin tidak sengaja bertabrakan dengan punggung tangan Winter.
Cowok itu menatap tangannya dan tangan sang adik tingkat. Senyum kecil nampak di bibirnya. Perlahan-lahan, dia menyusupkan jari-jarinya di antara jari-jari yang lebih muda. Menggenggamnya erat.
Kenapa tangan Winter sangat pas ketika dia genggam?
Winter menatap Jaemin kaget. Dia hendak melepas genggaman tangan mereka namun diurungkannya kala menatap tautan tangan mereka.
Perlahan senyum malu-malu tercetak di bibirnya. Masih saling menatap tautan tangan, keduanya berjalan menuju parkiran dengan senyum mengembang di wajah.
***
Minho memasuki rumah sambil berteriak, "Reno baliiikk!" kemudian rebahan di sofa ruang tengah.
"Wessh, dah balik aja lo, Mas." sahut Winter yang baru saja turun dari kamarnya yang ada di lantai dua. "Tadi interviewnya gimana? Mas diterima?"
"Nggak."
"Ya udah. Emang belum rejekinya."
Minho menghela napas. Cowok itu kemudian merubah posisinya menjadi duduk dan menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Ia lalu bertanya, "Gimana ya caranya jadi pengangguran sultan?"
Alhasil kepalanya ditoyor oleh Winter.
"Mana ada pengangguran sultan!" sungut Winter yang lumayan emosi karena pertanyaan absurd Minho.
"Andai aja gue anaknya Bill Gates." Minho lanjut berbicara.
"Udah, yuk. Bangun dan hadapi kenyataan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepupu
FanfictionCuma cerita sehari-hari Minho, Nakyung, Lia, Winter, Chaeryeong dan Sunoo sebagai sepupu. Juga tentang kehidupan asmara keenamnya. lokal!au