Sudah jam 5 sore, praktek Kala dan Roy juga sudah selesai dari tadi. Tapi mereka belum bisa membubarkan diri karena ternyata yang ditunggu belum juga datang menampakkan batang hidungnya.
Roy coba menghubungi Mona. "Mon, lo di mana? Jadi datang nggak? Kalau nggak, gue mau balik nih."
"Jadi, Mas. Tungguin bentar lagi gue sampai."
"Oke."
***
Kala yang sedang menikmati bangku pijat kliniknya menanyai Roy perihal kedatangan Mona. "Gimana Roy jadi datang nggak si Mona?"
"Jadi. Bentar lagi sampai. Katanya."
"Ya udah, gue mau mandi dulu ya. Gue tunggu di atas."
"Gue tungguin Mona di bawah deh. Takut itu bocah datang planga-plongo nyariin kita."
"Okelah. Gue naik duluan ya."
***
Selang 10 menit kemudian, Mona muncul dengan wajah yang dibilang cukup tegang.
"Tegang banget muka lo, Mon. Ada apa?" tanya Roy yang agak khawatir.
Mona menggeleng lemah sambil mencoba bersuara meski tercekat, "Nggak apa-apa. Cuma masih kaget aja."
"Kaget kenapa?" Kening Roy mengkerut. Tangannya mulai terlipat, ikutan jadi serius.
"Tadi gue hampir kejambret, Mas," kata Mona pelan-pelan.
"Lo dijambret?" Roy langsung berdiri saking terkejutnya.
"Ada yang luka nggak?" Roy mengelilingi Mona sembari memastikan Mona baik-baik saja.
"Gue nggak luka kok, Mas."
"Terus ada yang hilang nggak?"
"Nggak."
"Yakin? Coba cek lagi."
"Yakin. Untung gue pegang tas gue kuat banget."
"Syukur deh." Roy menghembuskan nafas lega.
"Tapi, Mas... jangan bilang-bilang Mas Kala ya. Bisa runyam urusannya kalau dia sampai lapor ke bokap nyokap gue. Alamat gue besok di antar jemput sama supir." Mona memohon dengan sangat.
"Ya bagus dong kalau lo diantar jemput. Kan, lo jadi aman dari penjambretan." Roy secara tidak langsung seperti seperti lebih setuju jika hal ini dilaporkan kepada Kala.
"Ribet, Mas. Yang ada gue jadi nggak fleksibel ke mana-mana." Mona sampai menarik lengan baju Roy saking tidak inginnya. "Please, Mas."
"Oke, gue nggak cerita. Tapi lain kali lo hati-hati ya. Gue nggak mau lo kenapa-napa." Roy sontak terdiam, membungkam mulutnya sendiri dengan cepat. Kenapa gue jadi ngomong begini. Roy buru-buru meralat ucapannya. "Maksud gue... pasti Kala nggak mau lo kenapa-napa."
Mona mendadak salah tingkah. Dia langsung tertunduk. Jantungnya berdebar hebat. "Iya, gue janji lain kali hati-hati."
Sementara itu, Roy memperhatikan gelagat kikuk Mona tanpa kedip. Rasanya ingin sekali menenangkannya dengan memeluk adik sepupu Kala itu. Tapi tak berani dilakukannya. Takut Dosa. Sumpah!
"Yuk, cepetan. Kala nungguin kita di atas. Di balkon."
"Ya udah, kita ke atas, Mas." Mona yang baru saja hendak melangkah namun mendadak dijegal Roy. Tangan Mona ditarik pelan. Mona terkejut, nyaris menahan nafas karena harus bertatap muka sedekat ini dengan Roy.
Roy mundur beberapa centi meter. "Tunggu, Lo ke sini mau ngomong apa sih, Mon?"
"Nanti aja ya. Sekalian gue jelasin kalau udah sama Mas Kala."
"Penting banget?"
"Lumayan."
"Okelah."
Mona langsung naik ke atas setengah berlari. Roy mengikutinya dari belakang. Keduanya naik tanpa bersuara. Membisu. Membekap rasa aneh yang muncul di hati masing-masing.
"Mas Kalanya mana?" Mona celingak-celinguk mencari sepupunya begitu sampai di atas.
"Tadi sih bilangnya mandi dulu."
"Minta tolong panggilin boleh?"
"Boleh. Tunggu bentar gue panggilin."
Roy baru saja mau balik badan. Tahu-tahu Kala sudah nongol persis di belakangnya. Berdiri tegap bagai hantu. "Modusin adik sepupu gue ya lo?"
Roy tersentak kaget. "Monyong! Kaget gue."
"Alah sok kaget." Kala meraup wajah Roy lalu mengambil tempat di sebelah Mona, "Ada apa Mon?"
Roy duduk di tepi pagar balkon sambil bertanya hal yang sama, "Iya, ada apaan sih? Sampai gue juga nggak boleh pulang. Penasaran gue."
"Gue butuh bantuan," ujar Mona yang tiba-tiba memasang wajah serius.
"Bantuan?" Kedua cowok di depan Mona itu melongo. Mona lalu terdiam dan hanya meninggalkan jejak ekspresi penuh misteri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita dan Takdir (TAMAT)
RomanceTentang jiwa-jiwa yang memendam, namun berharap terikat dalam satu ikatan takdir. Tentang sebuah tanya atas nama-nama yang tersebut memang sudah tertulis untuk saling berdampingan? Tentang kekuatan hati yang apakah mampu mematri dalam derasnya kead...