Sepeninggalan Kala, Mona duduk bersila di atas bekas ranjang Ajeng dengan sepatu yang masih melekat di kakinya.
"Sepatunya buka dulu, Mon. Nanti tempat tidurnya kotor," sahut Sea mengingatkan.
"Oh iya," ucap Mona yang langsung membuka kedua sepatunya dan kembali bersila. Mona cengar-cengir.
Sea hanya menatap diam dengan mimik serius ke arah Mona.
Sadar diperhatikan oleh Sea dengan tatapan aneh. Mona bereaksi, "Kok lo ngeliatin gue kayak gitu, Mbak?" tanya Mona heran.
Sea bergegas menasehati Mona tentang perlakuan kurang sopannya yang barusan dilakukan pada sepupunya sendiri.
"Mon, jangan kasar-kasar kenapa sama Kala. Sepupu lo dijewer sampai kesakitan begitu." Ada sedikit rasa cemas yang tersisa di wajah Sea saat menceritakan kesakitan Kala.
Mona malah terbahak-bahak. Dirinya tak menyangka Sea akan pindah kubu begini. "Kenapa? Takut pahlawannya kenapa-napa ya?" goda Mona.
Wajah Sea berubah merah padam. Telak sekali kata-kata Mona mendarat untuk Sea. Sea mendadak tidak nyaman.
"Maksudnya bukan begitu..." sela Sea menangkis tuduhan Mona, "dia kan lebih tua dari lo. Abang lo. Udah gitu cowok pula... Pasti malu dia dijewer kayak gitu di depan gue."
"Nggak apa-apa. Mental dia sudah teruji kok," cetus Mona dengan amat sangat santai.
Sea hanya bisa geleng-geleng kepala, "Kasihan tahu!"
"Hati-hati. Bermula dari kasihan, lanjut memberi kasih dan sayang," tembak Mona benar-benar tanpa basa-basi, "nanti naksir sepupu gue betulan baru tahu rasa lo, Mbak."
Emang ini anak mulutnya nggak ada filter sama sekali, gerutu Sea yang dibuat kaget sekaligus serba salah harus bersikap kepada Mona. Sea yang terperanjat kaget itu sontak mengambil ancang-ancang untuk memukul lengan Mona. Tapi sayang, satu gerakan maju justru memancing rasa pening di kepalanya. Sea memegangi keningnya dan meringis menahan sakit. Batal keinginannya untuk memukul Mona.
Mona yang melihat itu langsung jadi iba, "Kenapa, Mbak? Pusing lagi ya? Rebahan dulu aja lagi. Jangan banyak gerak," ujar Mona yang jadi panik, "gue panggil Mas Kala dulu ya."
Sea menahan tangan Mona, "Nggak usah. Jangan ganggu dia. Ini cuma pusing doang. Bentar lagi juga hilang."
***
Sudah sejak satu jam yang lalu, Ajeng pulang setelah dijemput kakaknya. Sekarang tinggal Sea yang masih terjebak di ruangan ini. Belum tahu kapan dirinya diperbolehkan pulang, terlebih selang infusnya masih jalan meneteskan cairan NaCl ke dalam tubuhnya.
Sedangkan, Mona sedang pulas tertidur di kasur bekas Ajeng. Mona nampak kelelahan setelah beberapa waktu yang lalu sibuk menghubungi ibu kos dan pejabat RT terkait kejadian kriminal ini. Nampak semburat hitam yang terlihat jelas di bawah area mata Mona. Mata panda. Mungkin juga karena rasa letih menjaga mamanya semalam.
Sea menggeleng. Anak ini hobi sekali menanggung semua beban orang terdekatnya tanpa sekalipun memikirkan beratnya beban diri sendiri. Sampai kapan lo akan menyembunyikan rahasia ini dari gue? batin Sea ikutan nelangsa.
Sampai satu momen, pintu ruangan Sea terlihat seperti dibuka dari luar. Sea langsung pura-pura tertidur. Kenapa harus pura-pura tidur? pikirnya kemudian. Tapi biarkan saja, siapa tahu orang yang masuk itu Kala. Dirinya enggan terjebak percakapan yang membuatnya begitu bingung dan serba salah. Apalagi Mona sedang tidur. Siapa nanti yang akan menjaga dirinya jika rasa kaku itu kembali menjeratnya?
Seseorang itu akhirnya masuk. Sea mengintip sebentar lalu memejamkan matanya cepat-cepat. Rupanya itu rekan dokter Kala yang bernama Roy. Laki-laki itu sempat menghampiri Sea untuk sekedar mengecek infusnya.
Setelah selesai memastikan infus milik Sea menetes lancar. Roy terlihat mendatangi Mona. Tanpa kentara, Sea kembali membuka matanya. Roy terdiam, hanya berdiri tegak memperhatikan Mona yang sedang tertidur pulas. Tatapan mata Roy sungguh dalam dan tulus. Seperti seseorang yang menyimpan rasa.
"Jangan-jangan dokter ini suka sama Mona lagi?" gumam Sea dalam hati.
Dugaan Sea semakin kuat ketika Roy dengan perlahan dan lembut menyelimuti Mona agar tidurnya makin nyaman. Begitu gelagat Roy ingin balik badan menghadap kepadanya, Sea buru-buru menutup matanya. Tak lama terdengar langkah kaki Roy yang keluar dari ruangan itu.
Sea kini mengerti. Mungkin hal seperti inilah yang menjadi sumber kekalutan sahabatnya. Dengan kondisinya yang berbeda dari perempuan kebanyakan, rasanya berat bagi Mona untuk melangkah lebih jauh jika ada seseorang yang mulai menyukainya. Terlepas apakah Mona tahu tentang perasaan dokter itu. Sea bisa merasakan, mungkin Mona takut suatu hari nanti laki-laki yang menyukainya akan mundur teratur karena tidak bisa menerima kondisinya. Sea tertegun. Sungguh berat beban Mona. Memikirkan nasib Mona yang begitu dramatis, membuat kepala Sea cenat-cenut lagi. Dipijatnya keningnya sendiri pelan-pelan. Menguap kecil lalu perlahan mata Sea terpejam. Nafasnya terdengar teratur. Sea pun menyusul Mona merajut mimpi. Tenggelam dalam nyenyak tidurnya.
Selang beberapa menit kemudian, Kala masuk. Kala mendapati Sea dan Mona sedang tertidur. Rasa lelahnya menghadapi keluhan para pasien, mendadak lenyap setelah melihat dua orang pentingnya itu sedang asyik menikmati waktu istirahat mereka. Kala bergerak mendekati Sea. Dipandanginya perempuan itu dalam-dalam. Nyenyak sekali tidurnya. Kala diam-diam memuji wajah cantik Sea. Senyum di bibir Kala tersungging kecil. Kala lalu menarik selimut Sea lebih tinggi, menutupi hingga ke bahunya. Sea bergerak singkat tanpa sadar. Memiringkan tubuhnya sambil mempererat selimut yang barusan ditarik Kala. Kala tergelitik sendiri melihat tingkat lucu Sea ketika tertidur. Sebelas – dua belas dengan adik sepupunya. Sea juga gampang sekali tertidur seperti Mona. Kala hendak mengusap puncak kerudung Sea tapi kali ini entah apa yang mengurungkan niatnya. Akhirnya, Kala hanya menyapu lembut nakas yang ada di sebelah ranjang Sea. Hingga gerakannya terhenti ketika terdengar Sea menyebut namanya pelan. Sangat pelan seperti terkesan berbisik.
"Makasih, Kal," ucap Sea seperti mengigau.
Tanpa sadar dalam tidurnya, Sea mengucapkan terima kasih pada dirinya. Kala terperanjat. Namanya barusan disebut oleh Sea. Kala menatap lekat Sea dengan perasaaan yang berkecamuk. Kala tak menyangka bahwa diam-diam dirinya ditempatkan pada satu sudut hati Sea yang mungkin spesial.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita dan Takdir (TAMAT)
RomantikTentang jiwa-jiwa yang memendam, namun berharap terikat dalam satu ikatan takdir. Tentang sebuah tanya atas nama-nama yang tersebut memang sudah tertulis untuk saling berdampingan? Tentang kekuatan hati yang apakah mampu mematri dalam derasnya kead...