Setelah keluar dari pintu kafe itu, langkah Sea mendadak berhenti. Tangannya bergetar hebat. Seperti seseorang yang baru lepas dari cengkeraman sesuatu. Air matanya mendadak mengalir. Tak menyangka Sea mengalami hal yang begitu berat barusan. Sea menghapus linangan air matanya.
Kala ikut berdiri di sebelahnya menunggu tangis Sea mereda.
Sea menoleh ke arah samping, ternyata Kala sedang menatapnya lembut. "Maaf ya, Kal, kamu jadi ngeliat kejadian yang tadi."
"Saya yang harusnya minta maaf karena mungkin mengganggu kalian."
Sea menggeleng. "Nggak. Saya justru berterima kasih sama kamu, Kal." Rasa sesak di dadanya sudah semakin mereda berkat keberadaan Kala di sampingnya tadi. Segala beban itu kini menguap hilang.
"Terima kasih untuk apa?" Kening Kala mengernyit, bingung.
"Karena berada di waktu yang tepat." Tatapan mata Sea kembali kosong.
"Tapi saya justru jadi yang nggak enak sama orang yang hatinya kamu jaga itu," ucap Kala dengan embusan nafas pelan dan kini menatap gamang, "saya takut orang itu marah pada saya karena sekarang kamu malah ada di sini bersama saya." Ada segurat harapan bahwa orang yang dimaksud Sea itu adalah dirinya sendiri, tapi Kala takut besar kepala hanya akan membawa harapan itu muluk-muluk.
Sea terdiam. Apa yang Kala maksud? Apa ia sedang memastikan perasaannya? Sea menghapus sisa air matanya.
"Mau pulang naik Bus Trans Jakarta nggak, Se?" tanya Kala tiba-tiba. Seolah hendak memecah keheningan pada Sea. Mengalihkan apa yang sempat diutarakan.
Bukannya menjawab pertanyaan Kala, Sea malah melongo kebingungan. "Kok?"
Kala berupaya menebar senyum. Senyum andalannya. Terlebih saat Kala melihat hidung Sea yang memerah bagai tomat berkat tangisnya. Sungguh membuat Kala gemas.
"Tadi katanya kamu mau bareng saya, kan? Masalahnya saya bawa mobil. Kalau pulang bareng saya berarti kita terpaksa berduaan di dalam mobil. Kamu pasti nggak mau, kan?"
Benar juga, pikir Sea. Sea buru-buru menggeleng. Bisa sesak nafas Sea kalau sampai itu terjadi.
"Kalau kita jalan kaki dulu gimana? Nggak apa-apa, kan? Nanti kita naik Bus Trans Jakarta di ujung jalan sana."
"Ya udah, nggak apa-apa."
"Kita jalan sekarang, ya. Yuk, nyebrang dulu." Kala berjalan lebih dulu menghalau beberapa kendaraan saat mereka menyebrang. Sea mengikutinya dari belakang. Lalu menyusul berjalan di sebelahnya.
Sea untuk pertama kalinya bersisian dengan Kala seperti ini. Hanya berduaan meski di keramaian. Jantungnya terasa sangat tidak aman. Degupnya jangan ditanya. Teramat kencang.
Kala melirik dengan ekor matanya saat Sea terlihat gugup memegang kedua tangannya. Kala tapi diam saja, mencoba membiarkan Sea beradaptasi dengan perasaannya sendiri. Lagi pula, kapan lagi menikmati pancaran indah dari perempuannya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita dan Takdir (TAMAT)
Roman d'amourTentang jiwa-jiwa yang memendam, namun berharap terikat dalam satu ikatan takdir. Tentang sebuah tanya atas nama-nama yang tersebut memang sudah tertulis untuk saling berdampingan? Tentang kekuatan hati yang apakah mampu mematri dalam derasnya kead...