Malam ini, Samudera yang akan menemani Sea di rumah sakit. Awalnya sang ibu yang hendak menginap, tapi kondisi ayahnya yang baru saja jatuh tadi pagi membuat ibu dilema sendiri. Akhirnya, Samudera memutuskan dirinya yang menginap. Selain itu, karena kehadiran Bara nanti yang betul-betul mengusik pikiran Samudera. Salah satu kandidat calon adik iparnya akan datang dan mencoba menggunakan peluangnya.
Samudera lalu pamit kepada adiknya.
"Se, mas anterin ayah sama ibu pulang dulu ya."
"Iya, Mas."
"Ibu pulang dulu ya, Nak." Merasa belum puas melepas rindu pada putrinya, Ibu Harum memeluk erat Sea lagi.
"Ih, Ibuuuu... Besok Sea juga pulang."
"Ayah pulang dulu ya. Cepat sehat." Pak Hardjo mengusap pucuk kepala putrinya.
"Siap, Ayah." Sea memberi hormat kepada ayahnya.
"Mas sekalian antar Mbak Yu dan anak-anak balik juga ya. Nggak lama kok."
"Santai Mas. Nggak ditemani juga nggak apa-apa."
"Mas juga nggak keberatan kok. Mas tetap temani." Wajah Samudera terlihat tak santai. Enak saja Sea sendirian tanpa ada yang menunggu. Kalau makhluk bernama Bara muncul, terus berduaan saja dengan Sea. Justru Samudera yang tidak rela.
Samudera mengantarkan semua anggota keluarganya pulang ke rumah masing-masing, dan meninggalkan Sea sendirian sesaat.
***
Sea kembali merebahkan tubuhnya di ranjang rumah sakit. Lagi-lagi harus kembali diinfus dan bersinggungan dengan suster dan dokter. Sea mendadak ingat pada urusannya dengan Mona. Bagaimana kabar anak satu itu? Apa sudah bisa dihubungi oleh mamanya atau tidak? Hati Sea kembali dirundung kecemasan. Kalau dirinya saja bisa sampai masuk rumah sakit gara-gara pusing memikirkan masalah ini. Lantas apa kabar dengan Mona? Sea yakin, Mona juga pasti kepikiran dengan kondisi persahabatan mereka berdua.
Sea mengambil ponsel di atas nakas. Menimbang-nimbang sesuatu. Apa perlu menelepon Mona sekarang? Suara memohon Tante Lisa kembali menggema di telinga Sea. Ditambah Samudera berpesan agar Sea menyempatkan diri untuk menghubungi Mona, semata-mata agar hatinya lebih plong. Sehingga pemulihan pada dirinya juga semakin cepat.
Lalu Sea memberanikan diri untuk menghubungi Mona. Sea menunggu sambungan telepon itu ditanggapi. Beberapa kali deringan bergulir begitu saja. Namun tak lama, telepon itu diangkat Mona.
"Mbak Sea," seru Mona terengah-engah seperti habis berlari, "maafin gue, Mbak. Please jangan marah. Gue benar-benar minta maaf. Gue nggak pernah ada maksud untuk bikin lo jadi sesakit ini. Jangan diemin gue kayak gini, gue nggak bisa." Mona meluapkan apa yang menjadi keresahannya terhadap Sea, hampir ingin menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita dan Takdir (TAMAT)
RomansaTentang jiwa-jiwa yang memendam, namun berharap terikat dalam satu ikatan takdir. Tentang sebuah tanya atas nama-nama yang tersebut memang sudah tertulis untuk saling berdampingan? Tentang kekuatan hati yang apakah mampu mematri dalam derasnya kead...