Kala masih memandangi sesuatu di dinding kamarnya. Sebuah lembaran bon belanjaan yang telah dilaminasi dan dibingkai cantik kini telah tergantung di salah satu sudut terbaik kamarnya, persis di tembok sebelah tempat tidurnya. Jadi, ketika kala hendak tidur atau bangun, ia bisa menatap bingkai tersebut sepuas hati.
Tapi tiba-tiba partisipan tak diundang muncul di dalam kamarnya dan mengagetkannya. "Apaan tuh?" sapa Roy sambil ikutan memandangi bingkai itu dengan ekspresi datar. Kala terperanjat nyaris loncat seperti baru saja melihat hantu.
"Mau bikin gue jantungan lo." Kala memegang dadanya karena kaget.
"Gue udah ketuk pintunya lho ya. Tapi elonya aja yang nggak sahutin gue," ungkap Roy membela diri.
"Masa?"
"Gimana mau dengar? Orang dari tadi lo hikmad sama pajangan baru lo. Itu apaan sih? Lihat dong." Roy menggeser paksa keberadaan Kala, dan segera maju menatap pajangan itu lebih dekat.
"Bon belanjaan donat yang kemarin," jelas Kala.
"Yang lo beliin buat Sea?" tanya Roy memastikan.
"Iya."
"Dibingkai?"
"Ho-oh."
Roy geleng-geleng kepala, takjub. "Luar biasa. Kalau orang bucin lagi gabut, ya begini nih kerjaannya. Sampai bon belanjaan aja dibingkai."
"Ya kan, cuma ini yang gue punya dari Sea. Foto dia yang gue punya juga cuma waktu yang di Beijing doang. Itu juga dari jauh."
"Kasihan. Sini gue kasih foto Sea." Roy langsung mendadak sibuk dengan ponselnya.
"Bercanda," cetus Kala, "ya kali lo punya foto Sea."
Tapi tak lama terdengar suara notifikasi chat masuk dari ponsel Kala. Rupanya itu dari Roy. Sebuah foto dikirim Roy kepadanya. Yang lebih mengejutkan lagi adalah itu foto Sea.
Kala mendelik tajam dengan wajah kesal. "Kok lo punya foto Sea?" Dalam benaknya bagaimana bisa seorang Roy yang notabene tidak kenal Sea bisa punya foto itu.
"Penasaran ya? Hebat nggak gue," seru Roy menepuk dadanya.
"Dari mana nggak?" sentak Kala cemberut.
"Kasih tahu nggak ya..."
Kala mencoba memutar otaknya, berpikir dari mana kemungkinan Roy mendapatkan foto itu. Dan yang paling masuk akal adalah dari adik sepupunya sendiri. "Ah, paling dari Mona."
"Hahaha... pasrah amat jawabnya. Iya, gue dapat fotonya dari dia. Tapi kesal kan gue punya foto Sea yang ini dan lo nggak," ledek Roy.
Kala menoleh lagi ke arah Roy. Emang cari ribut ya ini anak! Kala lalu mendengus sinis.
"Kesal tuh pasti. Iri kan lo. Hahaha..." Roy menggoda Kala habis-habisan.
"Iya, gue kesal. Kenapa malah Mona gampang banget kasih foto Sea ke elo? Lo kan juga cowok. Nggak khawatir apa Sea digodain elo," runtuk Kala.
"Ya ampun, gue cuma simpan fotonya Sea, bukan nomor HP-nya, Malih!!!" Saking geregetannya, Roy sampai mengumpat sebal.
Kala terdiam sejenak seakan membenarkan omongan Roy, "Iya juga, ya."
"Kalau cemburu sih kira-kira, Pak!" Roy mendorong bahu Kala.
Kala membalas hal serupa ke Roy. "Ya sorry..."
Sayangnya, Kala tidak menanyakan untuk apa Roy meminta foto Sea dan Roy juga kembali lupa menjelaskan tentang kemunculan Sea waktu itu di klinik. Masalah itu lagi-lagi tertimbun dengan pembahasan lain. Apalagi ketika Roy menerima pesan masuk di handphone-nya.
"Eh, Mona chat nih. Katanya dia mau ke sini."
"Ada apaan?"
"Nggak tahu! Tungguin aja itu bocah. Nanti juga nongol sendiri. Gue juga diminta nggak pulang dulu."
"Emang jam berapa mau ke sini?"
"Sore kayaknya. Biasanya sih setelah dia pulang event atau sepulang kuliah."
Ganti Kala yang meledek Roy, "Tahu banget jadwal sepupu gue. Perhatian banget. Naksir lo ya?"
"Terima kasih. Penjaganya galak. Lebih galak dari satpam komplek rumah gue. Udah ah, gue balik ke bawah dulu ya. Mau cari cuan biar bisa nikahin anak orang."
"Anaknya om dan tante gue ya. Cie..."
"Bawel lo," balas Roy sambil melengos pergi dari hadapan Kala. Tapi yang tidak Kala sadari yaitu ada senyum kecil tercetak jelas di bibir Roy.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita dan Takdir (TAMAT)
RomanceTentang jiwa-jiwa yang memendam, namun berharap terikat dalam satu ikatan takdir. Tentang sebuah tanya atas nama-nama yang tersebut memang sudah tertulis untuk saling berdampingan? Tentang kekuatan hati yang apakah mampu mematri dalam derasnya kead...