Seusai sidang, Sea menyandarkan punggungnya ke bangku yang sedang didudukinya. Rasa nyeri di beberapa bagian tubuh masih terus mendekapnya. Terutama bagian kening yang terbalut perban. Sea membuka ponselnya dan menemukan beberapa chat dari Bara. Ah, laki-laki itu nampaknya benar-benar memberikan atensinya. Tidak main-main, bahkan sebuah missed call pun turut muncul di layar ponselnya.
Sea diam termenung setelah membaca satu persatu pesan yang dikirimi Bara secara intens sejak tadi pagi.
Bara:
Assalamu'alaikum, Se... Gimana kabarmu? Apakah sudah pulang atau masih bedrest di rumah sakit?
Sea kembali menggulirkan ke pesan selanjutnya dari Bara.
Bara:
Assalamu'alaikum, Se. Masih istirahat ya? Baiklah. Cepat sembuh ya. Aku tunggu kabar dari kamu."
Sea merasa kepalanya jadi makin pusing. Pesan masuk dari Bara justru memperparah overthinking-nya. Sea takut menyakiti Bara pada akhirnya. Sea tidak bisa menerka manuver apa lagi yang nanti akan Bara lakukan. Sea tahu Bara tak akan pernah berhenti merapat. Kecuali satu, sebuah penolakan.
Sea merebahkan kepalanya pada meja di depannya. Rasanya lebih nyaman. Tak lama, Sea merasa ada tangan yang menyapu lembut kepalanya.
"Se," Suara Noni terdengar.
Sea mendongak ke atas, wajah sahabatnya itu terlihat sungguh teduh. "Eh, ada bumil?"
"Sea kenapa?" tanya Noni khawatir terlebih saat dilihatnya perban masih membalut kening Sea.
"Cuma pusing sedikit."
"Pusing di kepala atau pusing di hati?" Sebuah sentilan dari sahabatnya itu. Noni memang tidak kaleng-kaleng. Selalu tepat sasaran. Noni selalu paham akan kondisi Sea.
"Hati," Sea terpaksa menyerah. Sea butuh teman bercerita. Hatinya resah maksimal, "duduk, Bumil."
Noni mengambil tempat di kursi sebelah Sea. "Coba Noni tebak ya. Ini pasti soal mas dokter dan mas pembicara?"
Sea terperangah. Dari mana Noni tahu soal ini. "Kok bisa tahu?"
"Sssttt... apa sih yang lolos dari pemantauan Noni soal Sea, hmm? Noni cuma nggak pernah komen aja kalau udah tahu. Noni malas ikut campur urusan orang."
"O..." Mulut Sea ber-O besar lalu kepalanya kembali direbahkan, tapi dengan pandangan mengarah ke Noni.
"Jadi?" Noni kembali bertanya.
Sea menggeleng. "Nggak tahu."
"Hmm... gue ngerti. Lo itu pusing karena nggak mau nyakitin salah satunya, kan?"
Sea mengangguk. "Posisi kayak gini tuh nggak enak, Non."
"Memang," jawab Noni diplomatis.
Sea menghela nafas kesal sendiri. Dimain-mainkan kerudungnya saking penatnya.
Noni membenarkan kerudung Sea yang sedikit tersingkap sambil mulai menasehati Sea. "Coba kita bikin analogi sederhana. Anggap sekarang Sea yang jadi dokter. Sea berhadapan dengan dua orang pasien kecelakaan kerja yang kondisi saling berkaitan satu sama lain. Menyelamatkan yang satu akan mengorbankan nyawa yang satunya lagi. Siapa pun yang Sea pilih untuk Sea selamatkan, berarti Sea harus merelakan pasien yang satunya hilang nyawa. Sea tidak bisa menyelamatkan keduanya. Tapi Sea juga tidak mungkin berdiam diri tak melakukan apapun atas kedua pasien itu, karena keduanya mungkin akan meninggal. Kalau sudah begitu, Sea juga akan ikut berlarut dengan dampak yang ada. Jadi, intinya Sea harus tetap memilih. Setiap pilihan itu punya resiko. Dan tidak jadi masalah apapun yang Sea pilih. Yang harus Sea yakini, pilihlah pilihan itu berdasarkan ini," Noni menunjuk ke dada Sea, "sesuai hati Sea."
Sea menghembuskan nafas panjang. "Ini berat buat gue, Non. Keduanya laki-laki baik."
"Tapi Sea harus memilih yang terbaik, kan?"
Sea terdiam sejenak. "Ngg... sebenarnya gue udah milih, Non. Tapi gue takut menyakiti orang yang nggak gue pilih."
Noni kembali mengangguk memahami pernyataan Sea barusan.
"Mereka yang mencintai Sea sudah sadar dengan konsekuensi yang ada. Mereka tahu ada peluang untuk diterima. Ada pula penolakan. Mereka juga pasti sudah siap akan itu. So, don't push yourself too much. Mengalir aja Sea. Mereka itu sedang berjuang. Dan Sea yang nantinya akan menentukan bentuk akhir dari perjuangan mereka masing-masing."
Sea mengangguk. Benar apa yang dikatakan Noni tentang pilihan. Sejatinya dalam hidup bukankah kita akan selalu ditemui dengan banyak pilihan. Sayangnya, ketika harus memilih satu di antara dua pilihan, nyatanya tak semudah membalikkan telapak tangan. Teramat sulit. Terlebih ini masalah perasaan.
***
Kala baru saja menyelesaikan jam prakteknya. Kala memilih untuk kembali ke kamarnya di atas. Hari ini dirinya sudah bertekad untuk membereskan kamarnya yang sudah luar biasa tak terurus karena kesibukannya beberapa hari terakhir.
Kala memulai membersihkan kardus-kardus yang berada di atas lemarinya. Debu-debu berjatuhan dan membuat Kala bersin. Kala menatap satu buah kotak kecil yang terselip di dalam kerdus besar yang baru saja diturunkan. Kotak apa ini? pikir Kala.
Kala lalu segera membuka kotak kecil itu. Seketika kenangan lamanya menyeruak kembali dalam pikiran Kala. Benda-benda miliknya yang diberikan oleh Anabel. Meski katanya sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi dengan gadis itu kini, tapi hati Kala masih suka nyeri ketika mengingat kejadian itu.
Kala mengeluarkan semua yang ada di dalam kotak itu. Terakhir di dasar kotak itu, Kala menemukan foto candid Anabel dan dirinya yang sedang berdiri bersebelahan. Kala masih ingat betul, di situlah sebetulnya dirinya mulai mencintai gadis itu.
"Tolol! Buat apa lo mengenang ini. Ingat Sea, Kal. Sea lebih pantas untuk lo cintai." Kala merobek foto itu hingga menjadi kepingan kecil. Kala sudah menentukan pilihannya. Dan pantang baginya menoleh kembali ke belakang, apalagi berdansa ria dengan masa lalu.
Kala segera mengembalikan semua barang yang tadi sempat di keluarkannya dari kotak itu, termasuk kepingan foto yang tadi dirobeknya. Ditutupnya kotak itu dan tanpa ragu Kala membuangnya ke tempat sampah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita dan Takdir (TAMAT)
RomanceTentang jiwa-jiwa yang memendam, namun berharap terikat dalam satu ikatan takdir. Tentang sebuah tanya atas nama-nama yang tersebut memang sudah tertulis untuk saling berdampingan? Tentang kekuatan hati yang apakah mampu mematri dalam derasnya kead...