✨57✨

576 43 0
                                    

Tidak ada sangkut paut dengan dunia nyata
.
.
Tokoh, peristiwa, dan tempat dalam cerita ini
Bersifat fiktif
.
.
.
.
.

Pergelangan digenggam erat, Aldi tidak lagi mengijinkan Hansen untuk menghindar. Mereka harus berbicara, apapun itu.

Hansen memandang Aldi tidak suka, dia berusaha melepaskan genggaman tapi jelas tenaga Aldi jauh lebih besar darinya. Jujur saja dia merindukan persahabatan mereka tapi disisi lain dia juga was-was.

" Hans " Aldi tak sanggup melanjutkan kalimatnya, sama seperti lelaki yang lebih pendek darinya ini. Ia pun merasa ada yang mengawasi mereka

" Lepas " dijawab ketus, Aldi menggeleng ditariknya Hansen kesebuah lorong yang sepi, jalan menuju gudang. Cukup aman dan jarang ada siswa lain yang melintas.

" Mau sampai kapan kayak gini? "

Hansen tidak mampu menjawab, pun dia sendiri tidak tau jawabannya.

" Kita jaga jarak aja ya Al "

Aldi terbelalak. Hei! Persahabatan mereka sudah berjalan hampir sepuluh tahun lalu harus hancur karena satu orang

" Lu gak anggap gue sahabat lu lagi "

Hansen menggeleng, bukan seperti itu. Selamanya Aldi adalah sahabatnya.

" Gue padahal udah anggap lu sebagai saudara gue sendiri Hans, sama kayak Galih dan Alan, Zero juga deng " Pemuda tinggi itu merosot, berusaha menahan airmata dan gejolak didalam dada. Ini lebih sakit daripada dia putus dengan kekasihnya.

Tangan Hansen mendarat di kepala Aldi mengusaknya sebentar dan tanpa disadari senyumnya terbit.

" Iya Al, kita masih sahabatan "

" Hiks, lu cuma hibur gue doang kan. Lu sebenarnya gak mau lagi kan kenal gue "

Hansen terkikik pelan, lucu sekali melihat si cowok cool menangis seperti ini. Entah apa kata teman-teman kalau melihatnya begini, bisa-bisa Aldi habis diejek.

" Gue gak mau kehilangan Lo Hans, Gue sayang sama Lu " Aldi menerjang Hansen, memeluk tubuh yang lebih kecil darinya.

" Iya, aku juga " Hansen membalas pelukan itu. 

Tanpa diketahui ada yang memotret mereka dan lekas pergi dari sana sebelum ada yang menyadari kehadirannya.

-------

Fajar sibuk mondar-mandir pilih baju apa yang cocok digunakan untuk Alanka, sedangkan yang dipilihkan baju sudah mengoceh sedari tadi, ia masih telanjang dan tututnya dibiarkan terbuka jadilah si kecil kedinginan.

Siang nanti adalah pesta ulangtahun Alanka dan Fajar tentu ingin adiknya tampil luar biasa.

" Abang " panggilan Alanka diabaikan, ia justru berkacak pinggang melihat kira-kira mana satu diantara sepuluh baju yang dia pilih cocok digunakan untuk Alanka

Pintu terbuka menampilkan Devin dengan celemek polkadot merah jambu dengan bubuk-bubuk putih alias tepung mengotori, membelalak melihat si bungsu masih dalam keadaan telanjang.

" Fajar "

Pemuda yang disebut namanya terlonjak, menoleh  dan mendapati raut Devin yang seperti emak-emak lengkap dengan spatula ditangan kanan dan tengah berkacak pinggang.

ALANKA|3 {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang