44. Hari ke-16: Akhirnya pulang

1.7K 269 23
                                    


.
.
.
.
.
Harsa terus saja bergerak gelisah dalam tidurnya, bahkan beberapa kali terdengar rintihan pelan dari bibir tipis Harsa. Hala tidak meninggalkan sisi Harsa sedikitpun, wanita itu terus menggenggam tangan Harsa setiap kali Harsa merintih.

Kondisi Harsa saat ini tentu saja membuat Hala, Esha dan Kalya miris. Tunggal dari kakak kedua mereka harus menderita karena perlakuan ayah nya sendiri.

"Kalau kak Aruna masih ada, dia gak akan biarin Harsa kayak gini." Hala mengangguk saat mendengar gumaman Esha.

"Iya, Jevan juga selalu cerita kalau Harsa itu baik banget, dia gak akan biarin adik-adik kesusahan." Kalya ikut mendekati Harsa dan mengelus kepalanya.

"Harsa di pisahin dari kak Aruna dari kecil, hidup sama keluarga baru bapaknya yang gak ada baik-baiknya. Di pukul, di maki, di teriaki, Yudhis bahkan cerita kalau Harsa gak pernah protes akan apapun."

"Setelah ini dia harus bahagia kan kak?" Hala dan Esha mengangguk saat Kalya mengatakan itu.

"Ya, Harsa harus bahagia. Kita yang akan bikin dia bahagia, sama kayak kak Aruna yang selalu mengusahakan apapun untuk kebahagiaan kita."

Jika para ibu tengah membahas tentang cara  membuat Harsa merasa bahagia, di luar kamar rawat pada ayah justru mendiskusikan bagaimana cara membuat Hendra menyesal sudah memperlakukan Harsa seperti itu.

"Ayah minta ini di laporkan ke polisi mas." Romi menatap ke arah Wahyu yang ada di depannya.

"Memang harus di laporin, supaya bajingan satu itu gak macem-macem lagi."
.
.
.
.
.
Eyang Juna melarang cucu-cucu nya untuk ke rumah sakit setelah sahur, dengan alasan kalau Harsa akan pulang pagi ini. Mereka yang mendengar hal itu jelas terkejut, terutama Saga. Karena dia tau jika Harsa belum sepenuhnya baik-baik saja, bahkan untuk sekedar menarik nafas pun Harsa akan mengernyit kesakitan.

"Eyang, tapi Harsa kan belum sembuh." Eyang Juna, Agni, Rita, juga Dayana saling menatap.

"Ada sedikit masalah tadi, jadi papi kamu mutusin buat bawa Harsa pulang. Paling gak di sini nanti ada om tante sama kalian." Saga dan yang lain terdiam, mereka bahkan baru saja sasar jika ayah mereka tidak ada di rumah.

"Saga, nanti tolong awasi Harsa ya." Saga mengangguk.

"Iya eyang, pasti Saga awasi. Sudah tugas Saga buat jaga Harsa." Eyang Juna tersenyum mendengar jawaban cucu tertuanya itu.

"Ingat kalau Harsa udah pulang, kalian jangan rusuh kayak kemarin." Saga tiba-tiba saja menatap ke arah adik-adiknya dengan kesal.

"Kalau kalian rusuh cuma karena keong lagi, beneran itu keong warna warni itu tak masak." Semua adik-adiknya hanya bisa mengangguk. Saga terlihat sangat menyeramkan saat seperti itu.

"Saga, eyang tau Harsa cuma cerita dan mengeluh ke kamu, jadi eyang minta tolong apapun yang di ceritakan Harsa, kasih tau eyang, mami, papi sama om dan tante kamu." Saga mengangguk paham.

"Harsa terlihat sedikit tidak nyaman jika ada eyang di dekatnya." Saga menghela nafas.

"Harsa membatasi kedekatannya karena masalah Saji eyang, jadi eyang gak bisa protes ke Harsa."
.
.
.
.
.
Saga tau jika Harsa menyembunyikan rasa sakitnya sejak pulang ke rumah, cowok mungil itu hanya tersenyum dan menggeleng saat para orang tua bertanya.

Mereka semua yang ada di rumah juga mencoba mempercayai apa yang Harsa katakan, meskipun sebenarnya mereka khawatir.

"Harsa." Harsa menoleh saat mendengar suara Saga.

"Mau pakai nasal cannula lagi?" Harsa menggeleng pelan dan menyentuh dada nya.

"Gak usah mas, gak terlalu sesek juga." Saga mengangguk dan duduk di pinggir kasur Harsa.

"Sa, kamu udah tau?" Saga menatap ke arah netra hitam Harsa.

"Apa mas? Soal eyang yang mau laporin bapak ke polisi?" Saga mengangguk kecil.

"Tau, om Tara sama pakde Pandu udah bilang ke aku." Saga menepuk tangan Harsa pelan.

"Kamu gak papa?" Harsa terlihat menggigit bibir bawah nya saat Saga bertanya seperti itu.

"Secara pribadi aku gak papa mas, tapi aku juga takut. Takut kalau nantinya kalian yang jadi incaran bapak sama ibuk, aku gak mau kalian kenapa-kenapa." Saga tersenyum lembut.

"Sa, eyang, papi sama yang lain pasti udah mikirin jauh kedepan sebelum ngelapor, jadi kamu gak perlu khawatir." Harsa terdiam, dia tau tentang itu tapi dia masih khawatir.

"Mas Saga aku besok puasa ya, boleh kan?" Saga mendelik kesal.

"Gak, obat yang harus kamu minum masih banyak, jadi habisin obatnya baru boleh puasa." Harsa merengut kesal mendengar jawaban Saga.

"Kenapa sih? Kan cuma puasa doang. Puasa wajib loh mas." Saga mengangguk.

"Iya tau puasa wajib, tapi kamu juga pasti tau kan maksa puasa di saat sakit dan bisa membahayakan diri sendiri itu bisa jadi dosa, kamu mau?" Harsa makin merengut.

"Tau! Sana ah, mas Saga ngeselin. Aku mau main sama meong aja." Saga menahan tangan Harsa saat adik nya itu akan beranjak.

"Gak ada main sama meong, Kui sama anak-anaknya sementara bakal tidur di kamar Candra atau di kandang. Gak boleh deket-deket kamu."
.
.
.
.
.
Harsa tersenyum saat melihat sepupu-sepupunya ribut di ruang keluar, terutama Wildhan dan Maven yang rebutan remote tv.

"Mas Harsa, kenapa berdiri di situ, duduk sini mas." Yudhis adalah orang pertama yang menyadari kedatangan Harsa, dan ucapan Yudhis berhasil membuat yang lain menatap ke arah Harsa.

"Bosen di kamar ya mas?" Harsa hanya mengangguk saat Yoga menggeser duduk nya guna memberikan tempat untuk Harsa.

"Mas Harsa mau ice cream gak? Ice cream buat mas Harsa masih utuh di kulkas." Harsa hanya tersenyum saat Wildhan mengatakan itu.

"Aku belum boleh makan ice cream Wil, nanti ya." Wildhan mengangguk, dia paham jika paru-paru Harsa belum baik-baik saja.

"Mas Harsa, nanti aku tidur di kamar mas ya?" Harsa mengangguk.

"Iya Jev, nanti kalau kamu mau tidur masuk aja." Jevan tersenyum senang mendengar hal itu.

"Loh, kok keluar?" Saga yang baru keluar dari dapur menatap bingung pada Harsa.

"Bosen." Jawaban Harsa membuat Saga mengerti.

"Ya udah kamu disitu aja sama yang lain, Yudhis jagain mas nya. Jangan boleh banyak gerak." Harsa langsung menatap sebal ke arah Saga.

"Mas Saga pergi deh, ngeselin sumpah kayak Wildhan." Wildhan yang namanya di sebut langsung merengut, tapi melihat wajah Harsa yang lucu membuat cowok surabaya itu gak bisa marah.

"Udah-udah, Saga jangan di ganggu adeknya." Saga mengangguk saat Agni menepuk pundaknya.

"Habis Harsa lucu kalau kesel mi, kan Saga jadi gemes." Pandu yang mendengar ucapan Saga langsung menatap jahil.

"Kalau gitu, papi sama mami buatin yang kayak Harsa gimana?" Saga langsung mendelik kesal.

"Gak ada! Harsa aja cukup, gak usah aneh-aneh buatin Saga adek bayi!" Pekikan kesal Saga memancing tawa adik-adiknya yang lain, terutama Wildhan yang tertawa paling kencang, karena Wildhan tau Saga sangat menolak memiliki adik kandung.

"Bayi kan lucu mas." Saga semakin mendelik saat Harsa mengatakan itu dengan polos.

"Gak Sa, aku udah terlalu dewasa buat punya adik bayi." Lain Harsa, lain pula Maven saat memberi respon.

"Iya lah orang mas saga udah waktunya bikin bayi." Semua mata melotot menatap Maven, terutama Saga dan Harsa.

"HEH MAVEN!"

"Maven mulutnya."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Selamat malam...
Selamat berbuka...
Gimana puasanya?
Aku ngebut kilat nih, baru selesai nulis langsung up...
Niatnya mau nulis dari pagi, ternyata malah gak sempet jadi baru nulis sore ini dan langsung up..
Maaf kalau gak sesuai ya chapter ini...

Selamat membaca dan semoga suka...

See ya...

–Moon–

Bratadikara's houseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang