46. Hati ke-18: Meong meong

1.8K 267 43
                                    


.
.
.
.
.
Harsa malam ini gak bisa tidur, padahal mata nya sudah sangat mengantuk karena efek obat yang di minumnya. Cowok mungil itu beberapa kali menghela nafas panjang sebelum akhirnya bangkit dan keluar kamar, tujuan nya saat ini adalah kamar Saga yang ada sedikit di belakang.

Harsa mengetuk pelan kamar Saga beberapa kali, menunggu hingga sang pemilik kamar membukanya. Harsa tidak pernah berani masuk ke kamar Saga jika tidak di persilahkan.

Cklek

"Harsa? Kenapa?" Harsa menunduk saat melihat wajah mengantuk Saga.

"Aku ganggu tidur mas Saga ya?" Menyadari panggilan Harsa pada nya, Saga segera tau jika Harsa tidak baik-baik saja.

"Gak kok, kenapa? Mau tidur sini?" Harsa mengangguk pelan, dan itu membuat Saga mengulas senyum lembut.

"Ya udah ayo masuk, gak dingin emang?" Harsa mengikuti langkah Saga masuk ke kamarnya.

"Dingin." Saga tertawa kecil.

"Ya kalau dingin kenapa gak langsung masuk tadi?" Harsa menggeleng setelah duduk manis di kasur Saga.

"Gak sopan mas." Saga menghela nafas.

"Ya udah terserah kamu aja lah." Saga kembali merebahkan diri di sebelah Harsa, sedangkan si mungil sendiri sedang duduk sambil melihat-lihat kamar Saga.

"Tidur Sa, ngeliatin apa sih?" Harsa menoleh pada Saga dan menatap Saga lekat.

"Ga, jadi dokter itu enak gak sih?" Saga jadi ikut menatap Harsa.

"Kalau gak terpaksa ya enak aja Sa, kenapa mau jadi dokter juga? Kamu dulu nya anak ipa kan?" Harsa langsung merengut kesal.

"Gak mau, pasti pusing kalau jadi dokter, udah gitu mahal lagi sekolah nya. Dulu aku yang dapet beasiswa aja sama bapak gak boleh lanjut soalnya biaya nya mahal." Saga mendengus, lagi-lagi yang diingat Harsa adalah perlakuan bapaknya.

"Coba aja aku tau kamu tinggal dimana dari dulu, udah aku culik kamu dari rumah om Hendra Sa." Harsa tertawa kecil mendengar ucapan Saga.

"Ga, kamu dulu sering ketemu sama bunda ku gak?" Saga terdiam saat Harsa menanyakan itu.

"Sering, mungkin di banding yang lain, aku, Wildhan sama Jevan yang paling sering ketemu bunda kamu." Harsa tersenyum tipis.

"Bunda baik kan Ga? Maksud ku kehidupannya dulu. Bunda masih suka terbang?" Saga mengangguk pelan, memilih untuk ikut duduk sambil menatap Harsa.

"Iya, tante Aruna hidup dengan baik tapi gak pernah sekalipun beliau ngelupain kamu. Aku sering banget ngeliat tante Aruna nangis ke mami tiap cerita soal kamu, kangen katanya. Tapi sama om Hendra gak pernah boleh ketemu, jadinya beliau cuma bisa liat kamu dari jauh." Harsa tersenyum sendu.

"Aku tau kalau bunda ngawasin aku dari jauh, dulu waktu masih sd. Guru-guru selalu aja kasih aku bekal, jajan atau uang katanya titipan dari bunda. Aku percaya karena bapak gak mungkin ngelakuin itu ke aku, bapak kan cuma sayang sama Kania." Saga marah saat melihat wajah sedih Harsa saat ini, rasanya dia ingin sekali menghajar Hendra saat ini juga.

"Sa, gak mau bagi cerita ini ke adek-adek? Mereka sering nanyain loh. Bahkan Maven pernah bilang terang-terangan ke aku kalau aku, Yudhis sama Yoga gak mau ceritain apapun soal kamu ke mereka." Harsa menunduk.

"Aku takut." Saga mengernyit.

"Takut kenapa?" Saga harus menahan rasa gemas nya saat melihat Harsa memainkan selimutnya.

"Takut mereka risih sama aku kalau aku cerita soal kehidupan ku." Saga menghela nafas.

"Gak akan Sa, dengan kamu cerita ke mereka soal kehidupan kamu sebelum disini, mereka pasti ngerasa kamu udah percaya sama mereka, udah anggap mereka adek." Harsa merengut.

Bratadikara's houseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang