“Ini datang darimana sayang?” Tanya Ghali bingung melihat tujuh kotak buah apel di dapurnya.
“Oh, kiriman dari papa mas.” Jawab Tamara sedikit berteriak karena ia sedang di kamar saat ini. Sudah seminggu mereka kembali ke apartemen. Hari ini Tamara dan Ghali akan pindah ke rumah kedua orang tuanya Ghali.
Astrid sudah baik-baik saja dengan Ghali sekarang. Astrid hanya memberikan wejangan ke Ghali untuk jangan pernah menyakiti putrinya karena jika Ghali melakukannya, Astrid yang akan lebih dulu membawa Tamara kembali. Tidak peduli sebesar apa Ghali memohon, Tamara tidak akan pernah Astrid berikan lagi kepadanya.
“Kok banyak banget?” Tanya Ghali. Ia sedang membuat susu ibu hamil untuk Tamara.
“Iya mas.” Tamara keluar dari kamar dan menepuk-nepuk kecil pipinya yang sudah ia baluri dengan cream wajah tadi.
“Kemarin aku bilang ke papa, pa sekarang kakak jadi doyan banget sama apel. Eh dikirimin sebanyak ini.” Ujar Tamara tersenyum kecil. Ghali mengangguk. Betapa besar rasa sayangnya Hamza kepada Tamara.
Jujur. Ghali bisa melihatnya. Bahkan tatapan kecewa yang diberikan Hamza saat itu. Hanya saja, Hamza ini kurang bisa menunjukkan kasih sayangnya ke Tamara. Ghali jadi mengingat percakapannya dengan Hamza seminggu yang lalu.
Ghali bermalam di rumah orang tua istrinya ini. Astrid tahu tentu saja. Hanya saja ia pikir ia akan membiarkannya dan memberikan kesempatan bagi Ghali untuk memperbaiki hubungan mereka.
Ghali turun dari kamar dan menemui Hamza di ruang tamu sedang menonton berita.
Ghali ingin menyapa tapi masih merasa tidak enak, eh malah Hamza yang lebih dulu menyapanya.
“Sini nak ghali, duduk. Ada yang mau papa bicarakan.” Ujar Hamza. Ghali mengangguk dan mendekati Hamza. Ia mengambil duduk di sofa yang lain.
“Bagaimana tidurnya? Nyenyak?” Tanya Hamza berbasa-basi. Ghali mengangguk. Selama beberapa saat terdiam, akhirnya Hamza membuka bibirnya.
“Tamara itu anak yang sangat baik.” Mulai Hamza. Ghali mengangguk, mendengarkan dengan seksama.
“Bisa dibilang papa terlalu keras membesarkan tamara. Dulu, dinara pernah hilang diculik. Saat itu, tamara pergi bersama dengan dinara, namun tamara meninggalkan dinara untuk membeli es krim. Kamu tahu kan tama tidak pernah makan es krim?” Tanya Hamza. Ghali mengangguk. Rupanya itu alasannya. Ghali pernah mengajak Tamara pergi ke taman bermain sekali, namun memang benar Tamara tidak ingin es krim saat Ghali menawarinya, padahal mantan-mantan Ghali dulu pasti akan memilih itu terlebih dahulu.
“Itu menjadi semacam trauma kecil untuknya. Dia menyalahkan dirinya saat ara menghilang. Setelah kejadian itu, papa menjadi lebih fokus ke ara. Papa hanya ingin ara memilih apa yang ia inginkan, namun rupanya tanpa sadar papa tidak memberikan hak yang sama ke tama. Papa membuat tamara belajar mengenai perusahaan tapi papa tidak tau rupanya tama tidak ingin menjadi penerus perusahaan. Semua itu terlambat papa ketahui karena tiba-tiba saja tama sudah sedewasa itu. Dia bilang ke papa begini, pa. tama sudah besar pa. Tama yakin tama bisa bantu papa untuk membuat perusahaan menjadi lebih baik lagi.” Sesekali Hamza tersenyum bangga.
“Alasan tama susah akrab dengan orang tua ya karena mama papa juga sebenarnya. Papa tidak pernah mendengarkan pendapatnya tama dan membuat tama selalu berhati-hati saat melakukan sesuatu. Tama dan dinara sangat ambisius li. Mereka tidak pernah mau yang namanya kalah. Namun demi Dinara, Tamara rela kalah. Mungkin karena rasa tanggung jawabnya dikarenakan masalah yang terjadi dimasa lalu itu, namun tama sebenarnya anak yang rapuh. Ia butuh kasih sayang dan perhatian. Mungkin papa sudah terlambat, tapi papa harap kamu bisa mewujudkannya untuk papa li. Tolong jaga tamara dengan baik. Dengarkan keluh kesahnya dan sayangi dia. Papa mohon.”
“Mas!” Panggil Tamara. “Oh? Iya sayang?” Tamara menggelengkan kepalanya. “Aku uda manggil kamu sebanyak enam kali mas. Mas lagi mikirin apa? Ada masalah dikantor?” Tanya Tamara. Ghali menggeleng, menyodorkan segelas susu buatannya ke Tamara.
“Engga kok sayang, ini. Mas potong ya apelnya?” Tamara mengangguk dan meneguk isi gelas susu yang diberikan Ghali sampai habis setelah berterima kasih.
“Kamu gapapa sayang?” Tanya Ghali, disela-sela aksinya memotong apel.
“Hm?” Bingung Tamara mendongak menatap Ghali yang sedang sibuk dengan apel.
“Gapapa tinggal dirumah mama?” Lanjut Ghali. Tamara mengangguk. “Iya mas gapapa kok, hari ini kita ketemu temennya aga kan mas? Buat renovasi?” Tanya Tamara. Ghali menyodorkan sepotong apel ke mulutnya Tamara yang Tamara terima dengan senang hati.
“Iya sayang, uda aku telpon semalam. Ntar abis anter barang kerumah mama, kita langsung berangkat.” Ujar Ghali. Kali ini mengambil sepotong dan menyodorkannya ke mulutnya sendiri.
“Cita-cita kamu apa sayang?” Tanya Ghali. Karena mendadak, Tamara juga jadi bingung dibuatnya.
“Cita-cita?” Tanya Tamara bingung. “Eum. Cita-cita.”
“Bisa mimpin perusahaan papa dengan baik.” Ghali menggeleng. “Selain itu?” Tamara terlihat berpikir. Dulu, ia memiliki banyak sekali yang namanya cita-cita. Namun seiring waktu berjalan dan ia tumbuh dewasa, cita-cita terdengar konyol untuknya yang harus hidup sesuai garis yang ditakdirkan untuknya.
“Buka Cafe.” Jawab Tamara. Ghali tersenyum. Sesuatu yang tidak ia jadikan ekspektasi. “Kenapa?”
“Aku mau buat cafe yang isinya orang-orang yang ingin mencurahkan pikirannya. Jadi cafe khusus orang-orang yang sedang banyak beban pikirannya. Kadang teman cerita itu susah didapatkan mas. Justru orang-orang asing yang kedepannya tidak akan pernah bertemu lagi adalah orang yang cocok dijadikan sebagai teman cerita.” Ujar Tamara. Ia tersenyum kecil membayangkan isi toko, kursi meja dan pelanggan.
“Cita-cita kamu bagus.” Puji Ghali. Tamara tersenyum senang. “Kalau mas? Cita-citanya apa?” Tamara kembali menerima sodoran potongan apel yang diberikan oleh Ghali.
“Aku mau jadi orang yang bisa bikin kamu senang setiap saat, aku bisa jadi tempat buat kamu bercerita tamara. Kapanpun kamu mau, dimanapun kamu butuh, aku akan ada disana. Aku mau jadi orang yang kamu rasa paling nyaman sebagai tempat bersandar. Kamu dan anak kita nanti, aku berjanji akan memberikan semua yang aku punya untuk kalian. Karena harta aku yang paling berharga itu kalian, aku cinta kamu, Tamara.” Tamara memeluk Ghali. Sial. Sama. Ia juga cinta Ghali.
“I love you too mas.”
😭😭
Sincerely,
Pikachuu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinara untuk Agarra ✔️
عاطفية[[E N D !]] Bertemu kembali dengan dia adalah hal terakhir yang Dinara inginkan. Dinara tidak tahu bahwa calon adik ipar yang sering di bangga-banggakan oleh kakaknya itu ialah luka lalu yang sudah lama ia buang. Agarra namanya. Keduanya bertemu...