Dinara dan Agarra keluar dari ruangannya Dokter Meira. Anggota keluarganya ini lantas menatap mereka dengan tatapan penuh harap dan perasaan gembira yang menggebu-gebu.
“Ara ga kena kanker ma, pa.” Ujar Agarra. Mendengar hal ini mereka semua langsung berpelukan dan Astrid serta Amel berterima kasih kepada tuhan.
“Trus?” Tanya Tamara tidak sabaran.
“Dokternya salah diagnosis, bukan dinara yang kena kanker tapi dinara yang lain” Lanjut Agarra. Amel menggelengkan kepalanya. “Gimana sih ini dokternya.” Omel Amel. “Ya tapi puji tuhan, ternyata adek engga kena penyakit itu.” Ujar Astrid. Mereka semua mengangguk. Tapi ada hal lain yang sangat-sangat ingin mereka dengar.
“Aku hamil.” Ujar Dinara. Langsung heboh sekali mereka sampai ditegur oleh Suster yang lewat.
“Tck! Kita ini kan lagi senang, masa gaboleh menunjukkan kesenangan kita. Jadi pengen tak beli ini rumah sakitnya.” Omel Oma Maya. Oma Lestari tertawa. “Nanti aku beli juga, bagi dua saja kita toh? Habis dibeli, nanti dikasih buat anaknya ghali dan aga.” Ujar Oma Lestari. Oma Maya mengangguk setuju dengan tawa antusias.
Mereka lantas tertawa bersama.
“Berarti harus mulai dijaga banget kandungannya, dek. Jangan kecapekan, dan stress stress. Selamat ya dek.” Ujar Tamara. Sebagai senior yang lebih dulu hamil dengan usia kandungan kisaran empat bulan ini, ia punya pengalaman bagaimana kondisinya beberapa bulan belakangan ini.
Dinara mengangguk dengan senyuman. “Iya kak, makasih.” Jawab Dinara tulus dan menerima pelukan hangatnya Tamara. Untuk ukuran empat bulan, perut Tamara belum begitu terlihat. Mungkin karena proporsi tubuhnya yang kecil dan mungil.
Lantas mereka memberi selamat ke Dinara dan Agarra secara bergilir. “Yaudah pulang deh yuk, pasti capek habis perjalanan juga.” Ujar Oma Maya.
Mereka mengangguk. Akhirnya bus tersebut sampai dirumahnya Amel dan Wirja. Dinara dan Agarra pamit pulang tiga puluh menit setelahnya. Mereka akan pergi ke mall untuk membeli apa yang mulai akan diperlukan oleh Dinara.
It's shopping time!
“Astaga, kandungannya masih 3 minggu ga, uda beli beginian aja? Buat apa?” Tanya Dinara. Agarra senang sekali. Berlari kesana kemari membeli peralatan bayi yang menurutnya lucu-lucu sekali.
Mulai dari kaos kaki lucu, sampai sepatu-sepatu kecil. “Lucu-lucu banget sayang.” Jawab Agarra. Dinara terkekeh. Memang lucu sih, tapi mereka kan belum membutuhkan ini sekarang.
“Iya tapi kan belum butuh, aga. Ayo cari susu dulu.” Ujar Dinara. Agarra mengangguk. “Tapi aku tetap beli ini ya?” Dinara terlihat berpikir. “Sepasang aja deh dulu, ya ya ya?” Agarra menatap Dinara dengan tatapan memelas.
Dinara akhirnya mengangguk. “Yauda,” Jawab Dinara. Agarra tersenyum senang dan akhirnya meninggalkan Agarra dan pergi mencari apa yang ingin ia beli. Agarra menghabiskan waktu kurang lebih dua puluh menit di toko khusus perlengkapan bayi itu, lalu akhirnya ia menghampiri Dinara.
Ntah apa lagi yang dibelinya, Dinara tidak lagi menanyakannya. Biarkan saja Agarra menikmati harinya.
“Ini udah semua din?” Tanya Agarra. Dinara memandangi belanjaannya yang sekalian belanja bulanan ia lakukan hari ini, lalu Dinara mengangguk. “Okay, besok bakalan ada yang nganter barang-barang lagi ke rumah.” Dinara menatap Agarra bingung sembari memasang seatbeltnya. “Barang apa?”
“Tempat tidur, bak mandi, kursi makan, sofa kecil, sama mainan-mainan.” Jawab Agarra dengan wajah tak berdosanya. Dinara memegang pelipisnya pusing. “Buat apa ga? Belum perlu kita.. ntar yang ada jadi bikin semak ruangan aga.” Agarra terlihat sedih mendengar omelan Dinara.
Dinara berdecak kecil. “Maaf.” Cicit Agarra. Dinara menghela nafas pelan. Kalau begini, gimana ia bisa marah dengan Agarra?
“Engga. Aku bukan marah sama kamu. Cuma kita kan belum perlu itu semua, belum juga ada kamar yang kita kosongkan khusus buat dedeknya. Terlalu cepat kalau kita uda beli ini dan itu sayang, kan harusnya kita lihat bagus-bagus dulu mana yang kualitasnya paling baik. Harus di sortir dulu,” Ujar Dinara. Meraih tangannya Agarra dan mengelusnya kecil.
“Tapi ini kualitas yang terbaik sayang..” Ujar Agarra mendongakkan kepalanya dan menatap Dinara dengan tatapan antusiasnya. Dinara akhirnya menyerah. Baiklah, terserah Agarra saja.
“Din..” Agarra yang kali ini meraih tangannya Dinara. Dinara menoleh. Menatap kedua mata Agarra. “Ini pertama kalinya aku, perdananya aku bakalan punya anak. Jadi aku kayanya terlalu semangat ya.. tapi aku mau berterima kasih lebih dulu sama kamu, din. Juga ke Tuhan karena uda mempertemukan kita kembali. Dulunya, aku kalau lihat barang-barang kecil kaya tadi pasti mikirnya kayanya ga mungkin di hidup aku suatu saat nanti bakalan ada masa dimana aku begitu bahagia membayangkan betapa lucunya anak-anak aku kelak dengan kaos kaki atau baju-baju mungil kaya gitu. Tapi rupanya tiba juga masa seperti sekarang ini. Aku bakalan berusaha sebaik mungkin ada disisi kamu, din. Jadi aku harap kamu jangan pernah merasa sendiri. Apapun yang terjadi, sakitnya kamu, senangnya kamu, luapkan semuanya ke aku. Aku bakalan mencoba apapun yang aku bisa biar kamu selalu merasa nyaman, aman dan selalu bahagia bahkan dimasa kehamilan kamu ini. Sudah terlalu banyak kasus kehamilan yang aku lihat dan mereka banyak mengalami sakit-sakit yang aku gaakan bisa paham rasanya, tapi aku mau kamu tau bahwa disaat kamu merasakan hal kaya gitu, ada aku disisi kamu.” Ujar Agarra tulus. Dinara terharu. Mungkin karena bawaan hormon hamil, ia menangis dipelukan Agarra.
Dinara juga tahu tidak seharusnya ia marah ke Agarra hanya karena Agarra semangat ingin ini dan itu untuk anaknya mereka kelak, tapi mungkin karena bawaan emosinya yang tidak stabil, Dinara bahkan sudah sampai memikirkan kemungkinan terburuk jika ia gagal menjaga janinnya, akan jadi segila apa Agarra padahal lihatlah suaminya ini. Agarra akan tetap mencintainya bagaimanapun dia.
Dinara jadi merasa malu. Entah apa yang terjadi kepadamu, Dinara! Maklum. Bumil.
Dinara melepaskan pelukannya, dan menatap Agarra. Lantas keduanya tertawa bersama.
“Tapi lucu ya aku marah ke kamu karena kamu beli ini itu pake duit kamu sendiri.” Ujar Dinara. Agarra menggeleng, “Duit aku ya duit kamu,”
“Iya maksud aku kan hal ini ga harus bikin aku kesel, tapi aku kesel. Gatau kenapa.” Agarra tertawa. “Tapi berarti firasat aku yang ngerasa kamu hamil bener kan?” Iya juga. Dinara jadi teringat tespack yang ia buang ke dalam kolam berenang.
“Maaf ya ga..” Ujar Dinara. Agarra menggeleng. “Maaf apa?” Tanyanya. Dinara hanya tersenyum, “Terima kasih juga.” Agarra kembali membawa Dinara kedalam pelukannya.
“Aku yang harusnya berterima kasih din,” Dinara menggeleng. “Engga. Aku yang harusnya berterima kasih.” Ujar Dinara.
“I love you, din.” Celetuk Agarra.
“I love you more.” Jawab Dinara.
“No, i love you mo--”
“Kan mulai-mulai.” potong Dinara. Agarra terkekeh dan mengusap sayang belakang kepalanya Dinara.
Terima kasih Tuhan, sudah tidak mengambil Dinara dan malah memberikan kebahagiaan baru kedalam kehidupan mereka. Agarra lega dan bersyukur. Sungguh.
Terima kasih sudah baca, besok lanjut dua chapter lagi~
Sincerely,
Pikachuu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinara untuk Agarra ✔️
Romansa[[E N D !]] Bertemu kembali dengan dia adalah hal terakhir yang Dinara inginkan. Dinara tidak tahu bahwa calon adik ipar yang sering di bangga-banggakan oleh kakaknya itu ialah luka lalu yang sudah lama ia buang. Agarra namanya. Keduanya bertemu...