Chapt 85 ; Takut

1.9K 181 36
                                    

Ini malam terakhir mereka disini, Dinara memandangi Agarra yang sedang memanggang daging untuk makan malam mereka didepan villa ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini malam terakhir mereka disini, Dinara memandangi Agarra yang sedang memanggang daging untuk makan malam mereka didepan villa ini.

Dinara mengusap lengannya saat merasa angin dingin menusuk badannya. Lagian ide siapa untuk makan malam didepan sini?

Tamara duduk dengan Ghali yang merangkulnya dengan selimut. Sedangkan kedua orang tua mereka tampaknya menikmati makan malam ini, karena mereka tidak bisa berhenti berbincang tentang ini dan itu dengan Oma Lestari dan Oma Maya.

“Makan dulu, dek.” Ujar Ghali. Berdiri untuk menggantikan Agarra memanggang daging. Agarra menggeleng. “Gausah bang. Abang duduk aja.” Ujar Agarra. Ghali menggeleng, sama keras kepalanya. “No. Kasih waktu buat abang bersinar juga, abang bakalan kasih kalian makan daging panggang terbaik sedunia.” Agarra tertawa. “Baiklah. Saya serahkan ini kepada anda, pak.” Jenaka Agarra mengikuti alur candaan Ghali. Dinara hanya tersenyum memandangi mereka. Untuk apa ia marah ke Tamara dan Ghali, setelah dipikir-pikir Dinara harusnya berterima kasih kan?

Kalau bukan karena mereka, kira-kira seperti apa hubungannya dan Agarra sekarang?

Agarra mendekati Dinara. Melepaskan sarung tangannya yang sudah kotor dan mengesampingkannya ke sisi meja. Lantas Agarra mengambil duduk disisi Dinara.

“Dingin?” Tanya Agarra. Dinara mengangguk. Dinara melepaskan sarung tangan kanannya, dan memberikannya ke Agarra. Agarra menatap bingung Dinara.

“Pakai.” Titah Dinara. Agarra menggeleng. “Gausah. Aku ga dingin kok,” Dinara berdecak. Agarra tersenyum. Lantas menerima sarung tangannya dan memakainya ditangan kanannya.

“Trus tangan kanan kamu dingin dong?” Tanya Agarra. Dinara mengangguk. “Gapapa. Kan yang penting satu lagi terlindungi.” Ujar Dinara. Agarra terkekeh. Meraih tangan kanan Dinara yang polos dengan tangan kirinya. Menautkan jari-jari mereka dan akhirnya memasukkannya ke saku jaketnya.

“Ini namanya melengkapi sayang.” Ujar Agarra.

Dinara menoleh. “Thanks,” Ujar Dinara. Agarra menatap Dinara dengan wajah sedih. Apakah ini akan menjadi terakhir kalinya ia duduk bersama Dinara dan menikmati angin seperti ini?

Jujur. Setelah mendengar pernyataan Dinara saat pertama kalinya, dunia Agarra terasa runtuh.

Agarra rasa, ia tidak akan bisa hidup tanpa Dinara. Karena Dinara adalah dunianya. Setelah beberapa hari, Agarra pikir ia pasti bisa melewati ini. Selama Dinara masih ada disisinya, Agarra akan melakukan apapun untuk bersenang-senang bersama Dinara. Kalau Dinara pergi... Tidak. Sampai kapanpun, Agarra tidak akan pernah membayangkannya.

Mual-mual nya Dinara yang kerap muncul membuat Agarra semakin khawatir tiap saatnya. Tiap detik yang ia lewatkan bersama Dinara membuatnya merasa semakin bersyukur. Bangunnya Dinara disampingnya setiap pagi membuatnya ingin berterima kasih kepada tuhan. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik begitu berharga rasanya. Agarra yang selalu bekerja setiap saat, merasa bahwa saat ini bahkan ia tidak bisa lagi menyentuh pekerjaannya. Setiap bekerja, yang muncul dikepalanya adalah Dinara. Agarra kerap takut bahwa suatu hari Dinara akan menghilang dari sisinya jika Agarra memalingkan pandangannya barang sedetik saja. Kalau begitu, Agarra berjanji. Ia akan mengikuti Dinara. Jikalau sampai harus mencelakakan dirinya sendiri.

Dinara untuk Agarra ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang