Tandai typo❤
___"Jadi kamu tidak lulus sekolah?" Aksa mengalihkan obrolan, mencoba mengembalikan mood Adel yang suram sebab hanya karena satu nama tadi.
Adel menghela nafas, sepertinya Aksa ingin membuat suasana hatinya lebih baik dengan mengalihkan topik, jika Aksa bisa menghargai dirinya maka Adel juga harus lebih bisa menghargai kepedulian pria tersebut.
"Yap, pendidikanku hanya sampai kelas 3 SMP." Adel meringis malu, masih dengan suara serak dia menjawab pertanyaan Aksa.
Karena tidak mungkin Adel melanjutkan sekolah sedangkan ada yang lebih membutuhkan biaya, juga —waktu itu Bibi Ami tidak punya banyak dana untuk memenuhi kebutuhan anak-anak panti lainnya.
"Itulah kenapa aku kesulitan mendapat pekerjaan karena keterbelakangan dan pemahamanku tidak memadai."
Jujur —pada bagian cerita ini Adel minder bukan main, bagaimana tidak? Ia bercerita pada orang yang bahkan jenjang studi s3-nya ditempuh diluar negeri.
Adel semakin tidak punya wajah didepan Aksa yang memiliki kepintaran di atas rata-rata, sedangkan Adelia? Jangankan punya otak seperti Aksa, bisa ingat kosa kata saja sudah syukur banyak.
"Tidak apa-apa yang penting kamu pernah tahu kan, bagaimana rasanya menempuh pendidikan," hibur Aksa kala bahu dalam dekapannya merosot.
"Iya, sih, tapi —aku jadi tidak sepintar gadis lain," gumamnya lagi, masih terdengar nada sedih dalam suaranya.
"No problem, kepintaran tidak selalu di ukur seberapa tinggi dan sejauh mana mereka berpendidikan. Berpendidikan belum tentu menjamin kepintaran seseorang, Adelia, dan——"
Aksa menarik wajah Adel agar menoleh padanya, dia memberi senyum termanis yang tidak pernah di tunjukkan pada wanita manapun, hanya bundanya.
"Saya rasa kamu cukup pintar dalam menyikapi semua hal, tidak perlu pendidikan tinggi, kamu pintar menurut versi dirimu sendiri."
Aksa masih berusaha membuat Adel percaya diri. "Kamu hebat, pintar tidak melulu untuk mereka yang studinya tinggi atau yang sekolah di luar negeri." hiburnya mencoba membuat Adelia lebih percaya diri dan lebih bisa menerima keadaannya.
Setidaknya kalimat Aksa mengikis sedikit demi sedikit kecemasan Adel tentang pendidikan yang membuatnya minder setiap bertemu orang-orang pintar dan semacamnya.
"....Now you don't need any kind of time, now you have me, andalkan saya dalam keadaan apapun, ya," ujar Aksa lembut sembari menangkup kedua pipi Adelia.
Karena sekarang Aksa ingin ikut merasakan apapun yang Adel rasakan tanpa terkecuali.
Jika Adel menangis maka dia harus menangis dalam pelukannya.
Tatapan keduanya terkunci, mereka berusaha mencari arti dari tatapan yang membuat laju jantungnya berdebar kencang.
"Thanks for everything."
"Sama-sama." Aksa mengelus kepala Adel dan mengecupi jari-jarinya, "jangan menangis lagi, ok?"
Gadis itu mengangguk kuat, Adel tidak berjanji tapi dia akan berusaha, ia tidak mau mengecewakan tawaran tersebut. "Ok."
"Janji?!"
Aksa mengulurkan jari kelingking kearah Adel dengan senyum lebar, mencolek hidungnya sebelum menunggu uluran jari yang akan melingkupi jari kelingkingnya.
Adel diam, tak lekas menjawab kalimat Aksa, dia melirik kelingking dan wajah Aksa yang tersenyum hangat, bergantian. Sedetik kemudian tangannya terangkat, menyambut jari pria itu dengan senyum yang tak kalah lebar juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Crazy [ END ]
General FictionArea rawan baper Follow untuk membuat bab yang terkunci . . Bagaimana jadinya jika bawahan harus seatap dengan atasan yang dijuluki pria gay lantaran tidak pernah mengandeng wanita di usianya yang menginjak angka 30 tahun? "Pak, kita mau kemana...