Tandai typo❤
____Bukan hanya Adel yang heran akan perubahan Aksa, Rubi yang notebene orang luar juga terkejut mendengar cerita Adel barusan.
Terhitung sudah 30 menit Rubi duduk, mendengarkan cerita yang mengalir dari bibir Adel tanpa menyela.
"Mungkin pak bos lagi banyak kerjaan, Del, dimaklumi saja, ya, harus ada yang ngalah. Kalau sama-sama panas keadaan semakin buruk." Rubi buka suara.
"Aku tahu, tapi Aksa sudah keterlaluan, Bi, kamu tahu? Bahkan beberapa hari ini dia mengabaikanku, mengabaikan pesanku, mengabaikan semua masakan yang aku siapkan." katanya sendu.
Adel menghela nafas kala sesak kembali dia rasakan.
"Mungkin pak bos sudah makan diluar, positif thinking saja, okay?"
Rubi berusaha menyakinkan Adel dengan cara seperti ini, dia tidak bermaksud membela pak bosnya itu, sekarang posisinya lebih dekat dengan Adel maka itu dia memberi masukan-masukan seperti ini.
Sedangkan Adel terus mengeluarkan unek-uneknya, menceritakan semua kejadian dan sikap Aksa yang berubah tiba-tiba seperti ini.
"Okay! Peduli apa dengan apapun yang dia lakukan diluar sana, tapi —tidak bisakah dia menghargaiku sebentar?" kata Adel menatap Rubi seakan gadis itu yang membuat keadaan kacau begini.
"Bayangkan saja! Makanan yang aku siapkan berakhir di tempat sampah, dan yang lebih parah lagi Aksa tidak merasa bersalah dengan itu semua."
Baiklah, Adel tahu Aksa kaya raya, makanan yang dia buang tidak ada apa-apanya.
Aksa tidak akan jatuh miskin, tapi ——bukan itu poin utamanya.
Adelia menyiapkan semua itu dengan penuh perjuangan, ia bangun bahkan sebelum matahari terbit untuk sarapan pagi, di siang haripun ia juga menyiapkan makan malam untuk mereka, dan sayangnya semua yang gadis itu lakukan berakhir sia-sia.
"Dia juga mengabaikan semua pesan dan panggilanku, tidak tahukah bahwa balasannya sangat berharga? Apa susahnya mengetik satu kalimat? Membalas pesanku tidak butuh waktu satu jam tapi Aksa bertindak seolah-olah hal itu sesuatu yang berat untuknya!"
"Mungkin pak bos memang lagi hectic banget, Del, makanya nggak sempat ngabarin kamu," kata Rubi kembali menenangkan Adel yang mulai tantrum dan mendengkus kesal.
"Really?! Stop bilang mungkin, bilang mungkin, Rubi!" Adel mendelik tajam.
Merengut kearah Rubi yang hanya mesem lebar-lebar. Apa Rubi lebih membela Aksa dari pada dirinya? Really?!
"Sesibuk apa sampai-sampai dia lupa kalau punya pasangan? Tidak ada kata sibuk jika aku orang yang dia mau, Bi."
"Aku tidak meminta Aksa menjadikanku prioritas, tapi seenggaknya dia tahu bahwa memberi kabar itu adalah suatu yang sederhana untuk dilakukan, semudah itu, aku tidak minta lebih, Rubi. Hanya itu."
Rubi mati kutu mendengar jawaban Adel, benar kata gadis itu, istilahnya begini, "tidak ada kata sibuk jika kamu prioritasnya."
"Ok, aku tidak tahu bagaimana rasanya jadi kamu, dan aku juga tidak bagaimana rasanya sakit karena diabaikan. Tapi, cobalah mengerti, mungkin pak bos sedang punya masalah, atau memang lagi sibuk kerja, atau——pak bos memang tidak ingin di ganggu siapapun termasuk kamu."
"Berhenti, Bi! Jangan membelanya terus!" balas Adel dengan nada tegas.
Rubi tampak menghela nafas dalam, dia tidak termaksud membela pak bos, dia juga tidak memihak Adel meski gadis itu adalah sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Crazy [ END ]
Ficción GeneralArea rawan baper Follow untuk membuat bab yang terkunci . . Bagaimana jadinya jika bawahan harus seatap dengan atasan yang dijuluki pria gay lantaran tidak pernah mengandeng wanita di usianya yang menginjak angka 30 tahun? "Pak, kita mau kemana...