STD | | 6. Dua Tempat yang Berbeda

22 1 0
                                    

Suasana senyap dan tenang kini dirasakan oleh dua wanita ini. Hiruk pikuk ucapan selamat kini berganti menjadi hiruk pikuk kemacetan jalanan.

Jalanan seakan paham tidak komplit jika tidak merasakan kemacetan di hari kelulusan.

Setelah perjalanan yang begitu melelahkan, mereka berdua sampai disebuah rumah dan si penumpang disambut ramah oleh seorang ibu paruh baya.

Diajaklah masuk si penumpang dan mereka makan bersama sambil mengobrol santai. Namun, raut muka cemberut tidak terlepas sedari tadi acara kelulusan dimulai.

Sesedih itukah dirinya ditinggal sang kakak bertugas di hari kelulusan?

Pasalnya dia hanya hidup berdua dengan kakaknya. Kedua orang tua mereka sudah meninggal sejak mereka masih kecil dan berakhir dirinya hanya mampu bertumpu hidup pada kakaknya.

Mungkin karena kebaikan calon kakak iparnya ini, dia merasa mempunyai tumpuan hidup baru selain kakaknya. Calon kakak iparnya ini sudah menganggap dirinya seperti adik sendiri.

😊😊😊😊😊

Terik matahari mulai menusuk kulit. Keringat dibuatnya bercucuran kala matahari mencapai puncak.

Dibawah payung hijau yang rindang mereka berkutat dengan laptop masing-masing sambil diselingi sayup-sayup suara adzan berkumandang.

Mereka mengemasi alat-alat kuliahnya dan memutuskan untuk melaksanakan kewajiban umat muslim di musala kampus.

Di sepanjang perjalanan banyak mahasiswa berseragam seperti mereka berlalu lalang kesana kemari. Saling bertegur sapa dan menikmati hijaunya pepohonan seakan mengurangi teriknya matahari.

Dilanjut dengan berwudhu dan melaksanakan salat zuhur kemudian menikmati semilirnya angin yang semakin membuat terik matahari tak terasa lagi.

Menikmati indahnya lingkungan kampus yang khas sambil merehatkan pikiran yang kusut karena matkul yang sungguh memusingkan, rasanya enak sekali bukan?

Yah, walaupun hanya kenikmatan sesaat, tapi bisalah untuk menghindari diri ini dari depresi karena aktivitas kuliah yang padat.

Ayu mengambil ponselnya dan mendapati sebuah notifikasi pesan dari seseorang. Setelah membacanya, ia mengajak Rita meninggalkan musala dan menuju rumah sakit.

Sesampainya di bangunan serba putih dan megah mereka banyak disapa oleh para penghuninya. Rupanya mereka menemui Ajeng yang ternyata mengajak mereka makan siang di kantin rumah sakit.

Tapi kenapa yang mentraktir mukanya sangat tidak bersemangat daripada yang ditraktir?

Apakah dirinya menyesal mengajak dua temannya makan bersama?

"Mukamu datar amat, senyum kek, kenapa my bestie?" tanya Ayu berupaya baik.

"Dimarahin senior lagi mesti?" Ajeng pun mengangguk dengan mata menatap lantai.

"Tapi kali ini marahinnya tu bikin sebel tau nggak?" tanya Ajeng yang mulai sedikit emosi.

"Emangnya kenapa? Namanya orang dimarahin mesti sebel. Toh, juga karena mereka senior jadi suka marahin junior," timpal Rita menyuap nasi ke mulutnya.

"Masa dia marah cuma gara-gara si Angga jalan berdua sama aku sambil ngerangkul pundak," jelas Ajeng.

"MWEO?!" emosi dua temannya ala-ala drakor.

(Apa?!)

"Coba ceritain detailnya gimana?"

"Jadi, waktu rapat dia tuh jelasin materi PPT-nya cepet banget, kayak orang nge-rap. Ya, jadilah aku yang tidak paham materinya. Terus, entah kesambet apa tuh orang, tau-tau dia nunjuk aku suruh jelasin ulang materinya. Ya, aku gak paham dong yang harus dijelasin apa, cuma plonga-plongo. Kalaupun mau protes dia ngejelasinnya cepet banget, yang ada akunya disemprot habis-habisan."

Senja Tanpa DamaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang