STD | | 53. Analogi Penelitian

10 1 0
                                    

"Gimana?" Ajeng mengangguk sembari menaikkan selimut hingga menutupi tubuh pasiennya. Ajeng berputar mendekati temannya dan memeluknya dari samping.

"Tenang, ya. Semuanya bakal baik-baik aja."

Mata Ayu mulai membendung air mata, "Gak bisa rawat jalan sekarang po, Jeng?" Ia mendongak ke arah sang teman.

"Belum bisa, Yu. Tapi, kalau kedepannya kejadian lagi kayak gini, mungkin bisa dipertimbangin sama rumah sakit." Ayu kembali menenggelamkan wajahnya di dalam pelukan tersebut.

Ajeng mengelus pundak sang teman dengan posisi sedikit membungkuk dan membiarkan Ayu memeluk pinggangnya. "Mau ditemenin gak?" tawarnya pada Ayu yang membuatnya menggeleng.

"Gak usah, kasian yang disini nanti," ujarnya tersenyum seraya menunjuk perut rata Ajeng. Hal itu pun berhasil merekahkan senyum dokter wanita itu.

"Yaudah kalau gitu, tak tinggal dulu. Kalau ada apa-apa telpon aja, aku di ruangan." Ayu mengangguk tanda menyanggupi.

Ajeng mulai melangkah keluar meninggalkan Ayu yang duduk memandang suaminya yang tenang dalam tidurnya. Perlahan ia mengusap lembut rambut suaminya.

"Gimana bisa, laki-laki yang dulu ku benci jadi laki-laki yang selalu mencoba membuatku jatuh cinta berkali-kali? Sampai aku lupa tujuan awal menikah hanya untuk mencari sosok ayah buat Maya," gumamnya dalam keheningan malam yang membawanya dalam lamunan tak berkesudahan.

😊😊😊😊😊

Suara aduan es batu dengan gelas kaca benar-benar bisa menjadi salah satu cara untuk merehatkan pikiran. Dimana pikiran akan rileks secara perlahan yang dilanjut dengan mendinginkan suhu badan yang tinggi karena aktivitas padat.

Lidahnya mengecap di akhir tegukannya dan berhenti membasahi kerongkongannya, "Aku mau denger cerita dong."

"Cerita apa?" Suara berat dari laki-laki itu pun membalas.

"Kalau gak keberatan, mau denger ceritamu kok bisa diadopsi sama keluarga pesantren." Wanita berseragam persit itu mengalihkan pandanganya yang semula mengarah ke luar tepatnya pada makam di ujung sana menjadi menatap pria berbaju loreng nan gagah yang penuh misteri di hadapannya.

"Dulu umi pernah cerita, kalau umi nikah sama abi itu umur dua puluh dan itu hasil perjodohan. Ya, kayak perjodohan gus sama ning gitu lah. Pas awal-awal nikah tu, ya, kayak pengantin baru biasa. Nah, ceritanya tu malem, abi sama umi jalan-jalan keluar pas hujan. Gak taunya mereka malah nemu bayi." Wanita berseragam hijau dengan name tag yang tersemat 'Putri Raihana' itu tampak fokus mendengarkan.

"Bayi itu ternyata aku. Umi yang gak tega pun ngambil aku yang terlantar di sekitar lingkungan pesantren. Abi juga ngijinin, ya udah, akhirnya aku diadopsi. Sampai akhirnya sepuluh tahun kemudian, abi sama umi baru bisa dapet anak pertama dari pernikahan itu. Tapi, yang bikin abi sama umi bingung itu, waktu nemuin aku, di keranjang tempatku ditaruh itu ada surat yang diselipin."

"Surat apa?" Putri memasang wajah penasarannya.

"Akta kelahiran." Putri tampak syok mendengarnya. Pria dengan ukiran nama pada baju lorengnya 'Zulfikar Kanagara' mengangguk.

"Kalau ada akta kelahiran berarti... ." Putri menggantung kalimatnya yang membuat Zulfikar memetikkan jari.

"Aku udah sempet ketemu ayahku, tapi belum sama ibuku."

Putri tampak menghela napas, "Terus?"

"Abi sama umi udah sempet mau nyerahin aku ke ayahku, tapi aku gak mau. Karena waktu itu aku taunya, ya, abi sama umi itu orang tua kandungku, padahal juga gak. Yaudah, ending nya aku tetep di pondok. Dan...-."

Senja Tanpa DamaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang