Hari demi hari berlalu dengan meninggalkan berbagai macam kesedihan di dalamnya.
Yah, mungkin awal hidupnya kembali dimulai. Mulai bisa berdamai dengan keadaan, senyum mulai terpancar indah di bibirnya.
Hati yang awalnya dihuni oleh badai perlahan-lahan mulai diterangi oleh sang mentari. Tak luput juga usaha dari sang teman yang ikut menumbuhkan senyum di bibirnya.
"Siang, para bestie-ku!" sapanya dengan senyum sumringah.
"Siang juga, bestie. Dari mana, kok lama banget?" tanya Ajeng membuka topik.
"Habis laporan dari ruangan direktur," Ajeng mengangguk paham.
"Kalian jadi mau ngambil spesialis perawat?" tanya Ajeng yang diangguki setuju oleh Ayu dan Rita.
"Jadi mau ngambil spesialis KMB?" tanyanya lagi yang diangguki oleh kedua temannya.
"Tanya mulu daritadi, makan dulu, Ajeng! Punya info penting apa emang?" tanya Rita sambil menyuapkan nasi ke mulut Ajeng.
"Katanya direktur bakal buka beasiswa spesialis keperawatan lagi lho," Ayu dan Rita yang hampir menyuap nasi ke mulutnya terhenti seketika mendengarnya.
"Dari tahun-tahun kemarin juga direktur nyediain beasiswa begini terus, Ajeng. Gak cuma beasiswa keperawatan doang, ada banyak yang lain. Kamu kemana aja selama ini? Kamu udah di rumah sakit ini berapa tahun, ha?" cerocos Ayu kepada Ajeng yang seperti anak lima tahun plonga-plongo.
"Aku koas disini satu setengah tahun, terus magang satu tahun juga disini, terus sekarang dokter umum udah satu setengah tahun disini juga. Jadi, total empat tahun udahan," ucap Ajeng polos.
"Nah, kamu udah di rumah sakit ini empat tahun, itu lama lho. Bisa-bisanya kamu baru tahu kalau rumah sakit ini nyediain beasiswa tiap tahunnya. Kamu ini pinter-pinternya jadi dokter ternyata ada sisi miringnya juga, ya," ucap Rita lelah dengan kelakuan temannya ini.
"Iya kah?"
"Iya, Ajeng ku sayang," ucap mereka berdua kompak nan ngegas.
Disisi lain Ajeng hanya mengangguk-angguk seperti anak kecil. Ayu dan Rita terkadang heran sendiri dengan tingkah Ajeng yang seperti ini.
Namun, mereka juga heran, bagaimana bisa temannya ini menjadi seorang dokter dengan otak yang suka nge-lag seperti ini?
Kok bisa?
"Si Maya sekarang gimana?" tanya Rita mengganti topik.
"Ya, udah nggak nyariin banget kayak dulu sih. Kadang-kadang doang. Udah mulai ngerti kondisinya," jawab Ayu dengan nada yang agak sendu.
"Dipaksa dewasa oleh keadaan," celetuk Ajeng dengan bibir yang melengkung kebawah. Ayu hanya menanggapinya dengan senyuman.
Mereka kembali fokus dengan makanan masing-masing.
Selesai sudah acara makan siang dan mereka bertiga berniat kembali kepada aktivitasnya masing-masing.
Baru saja mereka sampai di lobi ruma sakit, langkah kaki mereka dihentikan dengan kehadiran dua sosok manusia berseragam loreng. Muka Ayu berubah masam ketika melihat orang tersebut.
Ya, orang itu adalah Gavin dan Farhan. Namun, dia paling benci dengan Gavin. Karena menurutnya, Gavin adalah orang paling menyebalkan melebihi Farhan.
Kenapa?
Karena Gavin terus-menerus mengejarnya dan mengajaknya berpacaran. Dia baru mau berhenti ketika tahu Ayu sudah dipinang oleh sesama rekan kerjanya.
Ayu hampiri orang tersebut dengan muka datar. "Ngapain kesini? Kamu juga ngapain?" tanyanya kepada dua manusia itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Damai
RandomDi usia yang masih sangat muda Ayu harus menerima fakta bahwa dirinya harus menjadi orang tua pengganti bagi keponakannya, Maya. Mau tidak mau dirinya juga harus menjadi tulang punggung keluarga disaat ayahnya juga ikut menjadi korban "kecelakaan"...