STD | | 11. Dilamar Teman atau Musuh?

20 2 0
                                    

Ayu akhirnya terpaksa ikut Pak Danil menuju ruangannya. Sesampainya disana, Ayu langsung duduk di sofa berhadap-hadapan dengan sang presdir.

Ayu dibuat bingung dengan sang presdir ketika wajahnya terlihat sangat tenang. Tidak ada raut muka marah pada wajah Pak Danil walaupun hanya satu persen.

Tapi, hal ini justru berbanding terbalik dengan anaknya. Raut mukanya sungguh menunjukkan kebencian dan kemarahan. Penampilannya sekarang sangat berantakan dan sangat cocok dipanggil dokter gila.

"Kamu katanya gak mau ambil kelas percepatan, ini kurang satu tahun udah pulang," kata Pak Danil mencoba mencairkan suasana.

"Iya, Pak. Kalau dipikir-pikir lebih cepat lebih baik. Lagian lama-lama gak enak ninggalin ibu sama ponakan berdua doang, Pak."

"Saya mau tanya lagi untuk memastikan, beneran kamu mau pindah di bagian keuangan? Gak mau tetep di keperawatan aja?"

"InsyaAllah pilihan saya sudah tepat dan mantab, Pak. Saya yakin saya bisa bekerja dengan baik di bagian keuangan dan beradaptasi dengan lingkungannya."

"Yasudah kalau begitu," ucap sang presdir sambil menghela napas.

Ayu mengecek ponselnya dan ia baru sadar bahwa sekarang sudah jam tiga sore. Tak mau berlama-lama disana, ia pun berpamitan, "Kalau begitu, saya pamit pulang dulu, Pak. Sudah sore."

"Sebentar, Ayu. Saya mau tanya sesuatu lagi, apa kamu kenal dengan Pak Wildan?" pertanyaan yang membuat Ayu mengerutkan dahinya bingung.

"Kenal, Pak. Kebetulan beliau adalah rekan kerja sesama tentara dengan ayah saya. Pak Danil kenal dengan beliau?"

"Ah, iya. Saya hanya berpesan, hati-hati," kalimat yang pendek tapi mampu membuat Ayu diam membeku.

Maksudnya apa sampai Pak Danil berkata demikian?

Tak mau ambil pusing, Ayu hanya mengiyakan dan segera keluar ruangan. Tepat setelah Ayu keluar, hal tak terduga pun terjadi.

"Kamu itu sebenernya punya otak gak sih?"
Nita yang merasa bahwa ayahnya akan mengamuk hanya diam seribu bahasa.

"Kamu Ayah sekolahin tinggi-tinggi di kedokteran, tapi apa? Apa yang kamu lakuin sekarang? Benar-benar diluar nalar tau gak?"

"Ayah udah ngelakuin semuanya biar kamu bisa sekolah di kedokteran dan menggantikan Ayah menjadi presdir rumah sakit ini, tapi ini balasan kamu sama Ayah? Kamu harus inget, Nita, bahwa yang seharusnya duduk di bangku kedokteran itu bukan kamu, tapi dia."

"Terus kenapa Ayah lakuin itu?" tanya Nita yang dilengkapi dengan tangisnya.

"Karena itu keinginan kamu, apa kamu lupa? Kamu bilang kalau kamu gak keterima di kedokteran, kamu mau bunuh diri. Ayah gak mau kamu lakuin itu, Nita. Kamu satu-satunya orang yang paling Ayah sayangi, Ayah gak mau kehilangan kamu," tepat saat itu tangis Nita semakin menjadi.

Ayahnya yang tak tega melihat anaknya menangis karenanya, langsung memeluknya.

"Pesan Ayah cuma satu, jadilah dokter yang baik dan selalu memegang teguh pada sumpah dokter yang udah kamu ucapin. Ketika kamu udah menggantikan posisi Ayah, bawa rumah sakit ini ke jalan yang benar, kamu harus menjadi pemimpin yang jujur."

Baru saja Ayu keluar dari rumah sakit, ponselnya berdering dan tertera jelas bahwa yang menelepon adalah adiknya.

"Halo, assalamu'alaikum. Kenapa?"

"Waalaikumussalam. Mbak, cepetan pulang, ya! Ini ada tamu nyariin, tamu penting."

Belum sempat menjawab, telepon itu sudah dimatikan sepihak oleh Bayu.

Senja Tanpa DamaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang