STD | | 47. Akankah Ada Sebuah Kejutan?

14 1 0
                                    

Derap langkah membawanya ke tempat biasanya ia melepas rindu. Tak bosan memandangi wajah rupawannya. Dia menganggap suara elektrokardiogram seperti dentang jarum jam biasa.

Jemarinya tergerak untuk menggenggam tangan kekar di depannya. Ia menautkan jemari lentiknya dan mengelus penuh kasih, “Gak kangen sama Maya po, Mas? Udah hampir dua minggu lho.”

Tatapan teduhnya beralih menatap kelopak matanya yang tetap teguh tak bergetar. “Aku minta maaf kalau bikin kamu marah, Mas.”

“Tapi, aku kangen.” Ia memilih mengenyampingkan rasa gengsinya.

“Kangen jalan-jalan ke pasar bareng nyari gethuk,” pungkasnya dengan senyum yang berat.

“Kangen ngaji bareng, sama Maya, sama ibu.” Ia menghela napas, “Cepet bangun, ya, Mas. Biar bisa boncengin aku sepedaan lagi. Jangan mau kalah sama Bayu!”

Matanya beralih menatap kedua kakinya yang tertutup selimut. Pikirannya seolah berlari mundur, “Kemarin kakinya hampir harus di amputasi. Karena bagian tubuhnya dari pinggul ke bawah kena runtuhan bangunan. Tapi, ternyata masih aman, gak perlu amputasi. Beruntung lagi pinggul ke atas gak kena sama sekali. Kalau gak, kemungkinannya bisa lumpuh.”

Itulah kalimat-kalimat yang terus ia lontarkan selama satu jam penuh dan sepuluh hari belakangan. Kebiasaan selanjutnya adalah ia akan setengah membaringkan badannya dengan posisi kepala ia hadapkan ke wajah tampannya.

Terus menatap bahkan tak berkedip akan membuatnya lelah dengan sendirinya. Kemudian ia akan tertidur menemani suaminya berjuang.

Tak lama dari itu, seorang pria berjas putih masuk. Tanpa basa-basi ia langsung menjalankan tugasnya tanpa menghiraukan kejadian di depannya yang terjadi terus-menerus.

Ia menatap sekilas wanita yang tertidur itu. Alih-alih memberinya selimut, ia meraih remot AC dan menaikkan suhu ruangan itu, “Cepet bangun kek, Han. Gak kedinginan po kamu?” Tak ada jawaban sama sekali.

😊😊😊😊😊

“Ibu.” Wanita paruh baya itu berdeham dengan tatapan fokus pada tayangan televisi.

“Tari dimana?”

“Di rumah,” jawabnya singkat.

“Mau HP, ambilin, pengen telpon,” mintanya dengan merentangkan tangan kirinya.

“HP terus…! Nanti nek sakit gimana?”

“Lha orang udah sakit juga,” ujar Bayu ngeles pada sang ibu.

“Baru bangun to kamu, nanti nek tambah sakit yang repot siapa?”

“Mas Angga, orang yang jadi dokter dia. Lagian gak ada hubungannya HP-ku sama aku sakit.” Sang ibu semakin merasa kesal dengan penuturan putra bungsunya itu.

“Nih, minimal pake tangan kanan kalau minta,” ujar sang ibu seraya menyerahkan ponsel hitam itu.

“Ya, maaf, Bu. Yang kanan kan diinfus.”
Ibu jarinya mulai mencari kontak orang yang ingin dia hubungi.

Tak berselang lama, “HP teros…!” Tak ayal Bayu pun menoleh dan menampakkan empat orang berdiri di depannya.

“Lah tadi baru mau telpon… .” Suaranya menyusut ketika mendapati tatapan tajam empat orang itu. Salah satu dari mereka adalah istrinya sendiri yang menggendong putri kecilnya yang masih berusia beberapa bulan.

“Nggih, kula njaluk ngapunten, sedaya-sedaya,” ucap Bayu halus dan menyerahkan ponselnya yang langsung dirampas oleh Angga.

(Iya, saya minta maaf, semuanya)

Senja Tanpa DamaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang