STD | | 51. Wedang Jahe di Titik Nol

13 1 0
                                    

"Kamu ngapain sih ke keraton?" tanya Farhan pada sang teman usai para tamu mengundurkan diri.

"Kepo kowe, ah," jawabnya malas meladeni.

"Yowes nek ngono."

Namun, justru terlihat ekspresi gelisah di wajah Ali, "Menurutmu kalau orang nyidam tu normalnya apa?"

"Emm..., yo, paling mangga muda yang paling pasaran."

Ali memetikkan jarinya, "Iya kan. Lha nek bojoku nyidam e bedo e."

(Lha kalau istriku nyidamnya beda e)

"Nyidam opo emang?" Farhan justru penasaran dengan penuturan temannya.

"Nari." Farhan pun dibuat menganga dengan jawaban di luar dugaannya.

FON

Kakinya mulai menyusuri jalan conblock yang kanan kirinya berdiri bangunan dengan bentuk pendopo yang kaya akan ukiran mewahnya. Semakin menyusur ke dalam, jalan yang ia pijak berubah menjadi tanah berpasir yang di setiap sudutnya tumbuh subur berbagai jenis tumbuhan dengan filosofi yang kental akan makna kehidupan.

"Mas Panji!" panggilnya pada salah satu pria berpakaian lurik biru lengkap dengan jarik yang melilit di pinggangnya dan jangan lupakan blangkon yang terpasang kuat menutupi rambutnya.

Pria yang merupakan abdi dalem itu menoleh ke belakang dengan wajah yang sangat ramah, "Weh, Al!" Mereka berdua bertemu dan saling berjabat tangan.

"Piye kabare?"

"Alhamdulillah apik, Mas. Boten ngajar teng kampus to, Mas?" tanya Ali mencoba mencairkan suasana.

(Alhamdulillah bagus, Mas. Gak ngajar di kampus to, Mas?)

"Ha yo uwes, iki lagi entis wae sowan keraton." Pria berbaju batik itu mengangguk-angguk dengan senyum lebar yang sangat ramah.

(Ha yo udah, ini baru aja dateng keraton)

"Lha kowe ngopo nggo batik? Karo tumben kowe nemoni aku, ono perlu opo?" tanya Mas Panji akrab seolah menganggap Ali adalah adiknya sendiri.

"Mangkeh isih enten acara, Mas. E..., dadi ngene, Mas. Kan bojo kula mpun meteng."

(Nanti masih ada acara, Mas. E..., jadi gini, Mas. Kan istriku udah hamil.)

Raut wajah Mas Panji pun langsung berubah sedikit kaget, "Uwes to? Wo, yo kabar apik kui, sehat-sehat terus nggo bojomu karo calon e, yo," ujarnya seraya menepuk pundak Ali.

(Udah to? Wo, Yo kabar bagus itu, sehat-sehat terus buat istrimu dan calonnya, yo.)

"Nggih, aamiin, maturnuwun, Mas. Dadi, mergi bojo kula meteng, mesti nyidam to. Nah, bojo kula iku nyidam e radi mlengse jane, Mas."

(Ya, aamiin, makasih, Mas. Jadi, karena istriku hamil, mesti nyidam to. Nah, istriku itu nyidamnya agak miring sebenernya, Mas.)

Tak ayal Mas Panji pun mengernyitkan dahinya karena bingung dengan penuturan Ali, "Nyidam e iku nyuwun nari. Jan jane kula nggih boten srek, Mas. Tur mergi nuruti yo mesake bojo kula seng kangen nari rikala mbiyen boten sido kuliah nari, yo..., mpun sidone kula turuti," jelasnya yang membuat Mas Panji menganggukkan kepalanya.

(Nyidamnya itu minta nari. Sebenernya aku juga gak srek, Mas. Tapi karena nuruti juga kasian istriku yang kangen nari waktu dulu gak jadi kuliah nari, yo..., udah jadinya kuturuti.)

"Lha njuk perlumu ro aku ket mau opo? Aku seh rung mudeng."

(Lha terus perlumu sama aku dari tadi apa? Aku masih belum paham.)

Senja Tanpa DamaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang