STD | | 44. Berakhir dengan Pesan dan Maaf

19 1 0
                                    

"Bay, denger suara dari bawah gak?" Bayu mengangguk.

"Ayo cepetan!" Mereka mulai mempercepat langkahnya karena sebuah firasat tak mengenakan mulai menyerang. Sepanjang langkah mereka membawa, telinga mereka selalu diganggu dengan suara perkelahian yang semakin membuat perasaan mereka tak karuan.

Benar saja, ketika kaki mereka menginjak di anak tangga terakhir semuanya terlihat jelas. Dimana mereka melihat dengan jelas ada tiga orang pria yang dikeroyok, yaitu Gavin, Farhan, dan juga Zulfikar.

Merasa suasana semakin kacau dan tidak memungkinkan untuk membantu, dua kakak beradik itu berbalik dan hendak berlari ke atas. Namun, mereka terhalang karena kedatangan dua kakak beradik juga.

Di situ tatapan Ayu bertemu dengan tatapan pria di depannya yang menggandeng tangan adiknya di belakang. Mereka berdua mematung karena pertemuan lama itu. Tak hanya mereka, Bayu yang melihat pemandangan itu seketika membuat kakinya membeku tak bisa digerakkan sama sekali. "Ini mimpi atau bukan?" Bayu berkata dalam hatinya.

"Pemandangan kebetulan macam apa ini?"

"Selesai sudah semuanya," batin Aksa dikala netranya terus mengikat benang dengan netra Ayu.

Tak sengaja, bahkan Farhan mematung dikala matanya menatap sosok pria berbaju hitam di depan istrinya itu. Hal itu pun akhirnya membuatnya dapat ditumbangkan seketika. Sedangkan Gavin dan Zulfikar masih terus mencoba bertahan.

Dor!

Tanpa mereka sadari, tiba-tiba terdengar sebuah pistol melepaskan satu pelurunya. Semua orang di sana langsung berhenti dari aktivitasnya dan memusatkan fokusnya pada seorang pria paruh baya yang turun menyusuri anak tangga dengan menggenggam sebuah pistol.

"Kalian berempat turun gabung sama mereka!" titahnya dengan menghalaukan tangannya yang menggenggam sebuah pistol.

Karena hal itu, waktu sempat melonggar dan detik itu juga Gavin serta Zulfikar langsung dilumpuhkan. Hal itu juga terjadi pada empat orang yang baru saja bergabung.

Pria dengan pistol itu pun berucap, "Tentara, tentara, tentara."

"Ini juga tentara, ini mantan tentara. Ini warga gak bisa main pistol," ucap Pak Wildan mengabsen mereka satu persatu.

"Tapi, ini warga yang bisa main pistol,' ucap pria paruh baya itu lagi di hadapan Ayu yang berlutut sekarang. Pak Wildan menyodorkan pistolnya seolah menantang wanita berjilbab hitam itu.

"Oh, malu dia ternyata unjuk bakat di depan suaminya," sambungnya dengan tawa kecil.

Pria itu mendongak dan memberi kode. Setelahnya, dalam sekejap mata sudah ada senjata laras panjang dalam genggamannya. Hal itu sontak membuat mereka bertujuh bingung dengan apa yang dilakukan selanjutnya.

"Atau mau pakai yang panjang?" Ia menawarkan kepada Ayu.

"Tenang, yang ini udah ada isinya." Ayu masih diam tetap pada pendiriannya yang membuat Pak Wildan merasa frustasi. "Tinggal pegang terus tembak apa susahnya sih?" Ia menarik paksa tangan Ayu hingga berdiri berhadapan dengannya dan langsung menaruh senapan itu pada tangan putih Ayu.

Melihatnya dalam posisi sekarang rupanya membuat mata Farhan terus menatap istrinya takut hal yang tidak diinginkan terjadi. "Sekarang kamu tinggal tentuin targetnya terus tembak, udah, selesai," titahnya.

"Gimana kalau targetnya?" Kini dahi Pak Wildan dan senjata itu hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Tapi, bukannya takut atau khawatir, orang ini justru tersenyum.

"Kalau kamu nembak saya dulu, gak asik dong, masa center mati duluan." Ia menggenggam ujung senjata itu dan menggesernya perlahan.

"Harusnya itu gini," ia memutar senjata laras panjang itu dengan cepat hingga mengarah ke salah satu dari enam orang itu dan Ayu kini berada dalam belenggu Pak Wildan.

Senja Tanpa DamaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang