"Mamah tau istirahat gak?" tanya seorang dokter wanita yang tiba-tiba masuk.
"Kamu mau perusahaan gak ada yang ngurus?"
"Terserah deh. Lagian yang sakit juga Mamah," tak terdengar balasan apapun.
Terlanjur suasana hatinya hancur, sang dokter wanita itu pun hendak
meninggalkan kamar bangsal tersebut. Namun, "Ajeng!" panggil wanita paruh baya itu yang duduk di ranjang rumah sakit sambil memangku laptopnya.Ajeng membalikkan badannya dan hanya menatap kosong sang ibu. Ibunya menepuk ranjang sebelahnya tanda meminta sang anak untuk duduk di sampingnya. Wanita berjas putih itu pun menurutinya.
"Jangan dengerin kedua mbak mu, ya," ucapnya lembut seraya mengusap pelan tangan anaknya. Sedangkan Ajeng hanya mengikuti segala keinginan ibunya walaupun dengan hati yang malas.
"Kamu senggang gak?" Ajeng mengangguk dengan sedikit ragu.
"Mamah pengen ke taman," mata Ajeng menyipit.
"Sebentar aja." Akhirnya Ajeng pun mengiyakan permintaan sang ibunda walau hanya sebentar.
Ajeng mulai mendorong kursi roda yang digunakan ibunya menuju ke taman untuk mencari udara segar. Mereka berdua berhenti di bangku yang cukup panjang. Ajeng duduk di sana berhadap-hadapan dengan ibunya. Di situlah perbincangan dimulai.
"Kerjaanmu gimana?"
"Tiba-tiba banget nanyain," balas Ajeng malas. Karena selama ini, ibunya tidak pernah lagi memperhatikannya setelah sang ibu menikah lagi dengan seorang duda yang mempunyai dua orang putri.
"Ya, gak papa. Gak boleh?" tanya sang ibu mencoba mencairkan suasana.
"Boleh, tumben aja tapi. Lancar kok, sering dibantuin Mas Angga."
Sang ibu menghela napas sejenak, "Mamah minta maaf."
Ajeng pun bertanya-tanya akan kalimat yang terlontar dari lidah sang ibu barusan, "Buat apa?"
"Buat semuanya," Ajeng hanya diam tak merespon.
Ya, semua ini berawal dari perbincangan ketika sang ibu baru saja masuk rumah sakit.
FON
Setelah sedikit berbincang, kini para staf yang menjenguk ibu Ajeng sudah pamit undur diri untuk kembali melanjutkan pekerjaannya masing-masing.
Kini tinggallah keluarga inti mulai dari sang ibu sendiri, Ajeng, Angga, dan kedua kakak perempuan Ajeng. "Kamu kemana aja sih, Dek? Mamah masuk rumah sakit bukannya jagain malah ditinggal sendiri," cerocos kakak pertamanya.
"Malah suamimu yang disuruh jagain. Dia kan juga sibuk," cerocos kakak keduanya menambah opini.
Sedangkan Ajeng sudah ingin membalasnya dengan berbagai kata yang sudah terbesit di dalam benaknya. Namun, ia mengurungkannya karena tak ingin menciptakan perdebatan di saat sang ibu sedang sakit.
Dirinya sadar bahwa ia masih memiliki hati nurani walau tak terlihat dan akal untuk berpikir. Ajeng pun membalasnya dengan menatap kosong kedua kakaknya.
FOOF
"Mamah tau kalau selama ini hubunganmu sama kakak tirimu gak pernah akur dan bukannya akrabin kalian, Mamah malah pilih kasih," Ajeng masih terdiam mencoba memproses segala perkataan ibunya.
"Mamah tau selama ini kamu selalu mengharapkan kasih sayang dari Mamah dan juga Papah sambungmu," mendengar ucapan itu hati kecil Ajeng mulai hanyut dibawa kalimat tersebut.
Dirinya tak bisa berbohong bahwa ia memang mendambakan hal tersebut setelah ayah kandungnya tiada. "Makasih udah tumbuh jadi anak baik, pinter, cantik. Kamu beruntung punya suami kayak Angga. Jaga komunikasi terus sama Angga walaupun kalian sama-sama sibuk," kedua mata Ajeng terlihat semakin membendung air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Damai
RandomDi usia yang masih sangat muda Ayu harus menerima fakta bahwa dirinya harus menjadi orang tua pengganti bagi keponakannya, Maya. Mau tidak mau dirinya juga harus menjadi tulang punggung keluarga disaat ayahnya juga ikut menjadi korban "kecelakaan"...