Di sebuah ruangan yang cukup gelap dengan pencahayaan yang minim ada dua orang yang nampak sedang berdiskusi.
"Mereka sepertinya besok akan berangkat mudik, Pak. Malam ini mereka sedang bersiap-siap," ujar seorang pria dengan gaya bicaranya yang sangat formal.
"Hei! Jangan formal-formal lah. Kamu ini kan udah lama sama saya, santai aja," ucap Pak Wildan.
Pria itu terkekeh, "Tetap rasanya tidak nyaman, Pak. Saya lebih nyaman dengan posisi atasan bawahan daripada sebagai teman. Rasanya seperti kurang menghargai jika saya bicara santai dengan Bapak."
Pak Wildan menghela napas panjang, "Ya sudah. Senyamanmu aja. Terus, laporan apa lagi yang kamu dapat?"
"Ada kabar bahagia, Pak. Tari, istri Bayu sudah melahirkan anaknya tadi."
"Begitu. Apa aku harus memberinya selamat?" mereka berdua terkekeh.
"Apa kakak beradik itu masih sibuk mengurusi kasus ayahnya?" tanya Pak Wildan mengganti topik.
"Bayu sekarang sudah tidak terlalu memusingkannya, melainkan kakaknya yang masih pantang menyerah untuk mengusut tuntas kasus itu bersama adiknya Adit." Pak wildan mengangguki perkataan bawahannya itu.
"Perkembangan mereka sampai mana?"
"Dari pengamatan saya, masih belum ada perkembangan lebih lanjut lagi. Sepertinya mereka menemukan jalan buntu," Pak Wildan tersenyum.
"Ayu juga sesekali bertemu dengan Jenderal Wibowo. Sepertinya mereka juga membahas kasus itu."
"Apa? Dia masih menemui orang tua itu?" pria itu mengangguk.
"Orang tua itu apa susahnya tinggal menikmati masa tua dengan uang pensiunannya? Apa menurutmu mereka cuman bahas kasus itu?" bawahannya nampak bingung dan mengerutkan dahinya.
"Saya kurang tahu, Pak."
"Awasi terus mereka berempat. Gak. Farhan juga, dia sangat berpotensi turun tangan."
"Baik, Pak," ucap pria itu sembari menundukkan kepala dan beranjak keluar.
😊😊😊😊😊
Sang mentari sudah mulai menyapa manusia dengan cahayanya yang menyinari seluruh isi bumi. Hari yang sangat cerah ini sungguh sesuai untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan. Selain itu, cuaca yang cerah juga dapat mengobati suasana hati yang awalnya suram menjadi indah.
Keluarga kecil ini sekarang sedang bersiap-siap untuk melaksanakan perjalanan jauh, yakni mudik. Seperti kegiatan orang-orang pada umumnya ketika lebaran tiba. Berjumpa dengan sanak saudara dan melepas rindu dengan mereka semua. Walaupun jarak memisahkan, rasa tak akan pernah bisa hilang.
"Ada yang belum masuk mobil gak?" tanya Farhan setelah selesai memasukkan barang-barang ke bagasi. Ayu menengok kamarnya dan kamar Maya kemudian bertanya pada keponakannya, "Maya, ada yang mau dibawa lagi gak?"
"Cimoy," ucapnya sambil menggendong kucing kesayangannya. Farhan yang terkejut reflek bersembunyi di belakang Ayu.
"Gak," jawab Ayu tegas seraya melipat tangan.
"Ihh..., kenapa? Nanti yang kasih makan Cimoy siapa?"
"Kan nanti Cimoy di rumah bareng uti, jadi yang ngasih makan uti."
"Emang iya?"
"Loh, gak percaya sama Ante? Coba tanya sama uti sana!" Maya berjalan ke arah sang nenek dan jangan lupakan kucing gembul dalam gendongannya.
"Uti...! Emang iya nanti Uti yang ngasih Cimoy makan waktu mudik?" tanya bocah itu dengan wajahnya yang sengaja dibuat lucu.
Sang nenek tertawa kecil mendengar pertanyaan dari cucunya itu, "Iya. Jadi, Cimoy gak bakal laper. Percaya gak sama Uti?" Maya mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Damai
RandomDi usia yang masih sangat muda Ayu harus menerima fakta bahwa dirinya harus menjadi orang tua pengganti bagi keponakannya, Maya. Mau tidak mau dirinya juga harus menjadi tulang punggung keluarga disaat ayahnya juga ikut menjadi korban "kecelakaan"...