"Maya...! Bangun yuk! Sahur dulu," bujuk Farhan mencoba membangunkan keponakannya.
Karena keponakannya tak kunjung bangun dari tidurnya, Farhan mendudukannya perlahan. Namun, ketika memegang tubuhnya Farhan agak terkejut karena badan Maya sangat panas. Sedangkan bocah itu masih menutup mata walaupun kesadarannya telah kembali.
"Kok panas, ya?" batinnya sambil meraba-raba tubuh kecil Maya.
Farhan segera menggendongnya dan membawanya keluar. Sesampainya di dapur, Farhan langsung mendudukkan Maya, "Yu, kok badannya Maya panas, ya?" tanya Farhan pada istrinya.
"Masih belum turun demamnya?" batin Ayu seraya berjalan mendekati Maya.
Dia meraba seluruh tubuh Maya, "Maya..., kamu denger Ante kan?" pasalnya dari tadi Maya sama sekali tidak membuka matanya. Maya mengangguk lemas.
"Aku ambilin kompres dulu," Ayu beranjak meninggalkan Maya bersama suami dan ibunya di dapur.
Namun tanpa sepengetahuan dirinya, sebuah cairan berwarna merah mengalir keluar dari hidung Maya. Farhan yang sadar langsung sigap menyekanya dengan tisu. Sekembalinya Ayu, dirinya dibuat bingung dengan Maya yang berada di pangkuan suaminya dengan keadaan hidung di sumpal tisu.
"Kenapa di sumpel tisu?"
"Mimisan," jawab Farhan apa adanya.
Namun nyatanya, jawaban yang terlontar dari lidah Farhan itu justru membuat Ayu kaget, "Hah?!" Ayu langsung duduk di kursi sebelah suaminya.
"Bentar, Mas, biar ku buka dulu bajunya."
Mendengar perkataan itu Farhan hanya diam saja dan membiarkan Ayu yang melakukannya. Setelah Ayu bisa melihat tubuh keponakannya dengan jelas, tebakan Ayu benar. Di beberapa bagian tubuh Maya terdapat bitnik-bintik berwarna merah yang otomatis menandakan bahwa Maya terkena demam berdarah.
😊😊😊😊😊
Kini Maya sudah dilarikan ke rumah sakit dan sedang dalam penanganan dokter. Farhan dan Ayu kini menunggu sambil duduk di sekitar kawasan UGD rumah sakit.
"Mulai kapan Maya demam?" tanya Farhan dengan nada menginterogasi yang memecah kesunyian di antara mereka.
Ayu menghela napas, "Mulai dari kemarin, waktu di sekolah gurunya telepon kalau Maya demam sama muntah-muntah di sekolah," jelas Ayu.
"Kenapa gak bilang ke aku?"
"Aku gak mau ngerepotin kamu, Mas. Itu tanggung jawab aku, amanah dari Mbak Raya," jawab Ayu tak berani menatap suaminya.
Farhan mengangkup kedua pipi istrinya, "Yu, disini aku suamimu, berarti aku juga punya tanggung jawab terhadap Maya. Kamu gak bisa egois," mereka beradu tatap dalam kesunyian fajar.
"Aku gak becus, Mas. Aku terlalu sibukin diri buat pekerjaan sampai ngasih tanggung jawab Maya ke ibu, harusnya itu aku. Aku lari dari tanggung jawabku sendiri, aku bodoh, Mas. Bodoh!" tepat saat itu tangis Ayu pecah.
Farhan menarik Ayu ke dalam pelukannya dan mengusap halus kepala istrinya. Sedangkan Ayu tak membalas pelukan itu dan masih melanjutkan tangisnya.
"Yang aku kira selama ini aku merhatiin kebahagiaan keluarga ternyata justru aku yang merusaknya. Justru mereka yang merhatiin kebahagiaanku, aku egois," ujar Ayu sambil sesenggukan.
Mendengar itu, Farhan mengeratkan pelukannya hingga suara tangisan Ayu tak terdengar karena tenggelam dalam pelukan itu.
"Semua orang egois," gumam Farhan sembari membuang napas panjang.
"Semuanya bakal baik-baik aja," ucap Farhan tepat di samping telinga istrinya.
Tak terasa satu jam berlalu dan kini mereka larut dalam mimpi masing-masing. Jam menunjukkan pukul setengah lima pagi dan adzan subuh sudah selesai berkumandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Damai
RandomDi usia yang masih sangat muda Ayu harus menerima fakta bahwa dirinya harus menjadi orang tua pengganti bagi keponakannya, Maya. Mau tidak mau dirinya juga harus menjadi tulang punggung keluarga disaat ayahnya juga ikut menjadi korban "kecelakaan"...