Karpet merah di gelar dengan hiasan bunga tabur di atasnya. Pasangan suami istri yang baru saja sah secara agama juga hukum berjalan di atasnya. Di kanan kiri mereka berdiri para jajaran pria berseragam dengan pedang yang dihunuskan ke atas kedua mempelai. Mereka berjalan bergandengan dengan percaya diri menampilkan senyum bahagia sebagai simbol.
Tiba di titik tengah perhatian lautan manusia, mereka saling berhadapan di bawah naungan pedang-pedang tersebut. Mulai dari penyematan cincin hingga penyerahan seperangkat pakaian persit ditutup dengan foto bersama di atas pelaminan.
Belum selesai, selanjutnya adalah sungkeman, "Kamu sehat-sehat, ya. Yang manut sama suamimu. Kalau punya cerita, jangan lupa bagi-bagi juga, kamu gak sendirian, ya. Tetep istiqomah dan selamat, samawa terus, ya."
Ayu berucap lirih di samping telinga Putri dengan tangan kanannya memegang pundak Putri. Setelahnya ia memberikan dua kecupan di pipi sang adik angkat seakan-akan ia akan melepaskan anak gadisnya kepada seseorang.
"Kamu sehat-sehat, ya. Hati-hati kalau ngomong, jangan sampe istrimu sakit hati. Inget, dia perempuan dan dia istrimu, harus ada perlakuan istimewa. Kalau ada masalah diselesaiin pakai kepala dingin, jangan cekcok terus. Bimbing istrimu dan selamat, samawa terus."
Farhan berucap lirih di samping telinga Zulfikar seraya menepuk pundak kanannya seolah memberikan amanah yang besar untuk menjaga anak gadisnya menuju kebahagiaan baru. Setelah itu, mereka berpindah untuk melakukan sungkeman pada Abi dan Umi sebagai wali dari pihak pria.
"Rasanya kayak punya anak gadis, ya," celetuk Ayu yang membuat Farhan mengangguk.
"Rasanya kayak orang mantu beneran," celetuk Farhan menimpali yang juga membuat Ayu mengangguk.
Selesai, kini mereka bisa mengatur napas sejenak sampai seorang pria paruh baya naik ke pelaminan menghampiri mereka, "Kamu sering-sering tilik, Pakdhe, di panti kamu besar, yo. Jangan bikin ayah bundamu kangen."
Putri mengangguk dengan wajah teduhnya, "Nggih, Pakdhe. In Syaa Allah."
"Titip ponakanku, yo, Le."
Zulfikar pun mengangguk pasti, "Nggih, Pakdhe, siap! Boten sah kuatir, Pakdhe."
(Gak perlu khawatir, Pakdhe)
Sang pakdhe menggenggam erat kedua lengan kekar Zulfikar dengan yakin memberikan seluruh kepercayaannya atas sang ponakan pada dirinya. Mereka bertiga larut dalam suasana hangat sebuah pelukan keluarga.
Faktanya adalah pakdhe merupakan paman Putri yang merupakan kakak kandung ayahnya. Beliau ternyata juga mengelola sebuah panti asuhan yang bisa dibilang cukup besar. Dimana tempat itu lah Putri dan kakaknya dibesarkan di bawah naungan sang paman tepat setelah ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya sekaligus.
Waktu berlalu dan sudah sekian banyak tamu mereka temui yang membuat mati rasa melanda sekujur tubuh mulai dari rahang hingga kaki. Sampai akhirnya MC mengambil alih acara yang memberi waktu sejenak kedua mempelai untuk duduk sejenak. Namun, tiba-tiba saja MC mempersilakan waktu dan tempat kepada komandan yang saat itu masih di lokasi.
Sang komandan pun mengambil alih mic dan mulai berbicara, "Selamat kepada kedua mempelai yang setelah ini akan menempuh hidup baru bersama. Selamat juga kepada Saudara Zulfikar, habis ini gak tidur di barak lagi," godanya yang membuat Zulfikar tertawa malu di hadapan para tamu. Hal itu rupanya juga mengundang tawa seisi ruangan.
"Selamat juga kepada Saudari Putri, yang sudah mau diperistri sama satu anak ini. Habis ini sabarnya diluaskan lagi, ya, kalau menghadapi suaminya yang kalau tiba-tiba aja kumat." Lagi-lagi Zulfikar dibuat malu oleh sang komandan di atas pelaminan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Damai
عشوائيDi usia yang masih sangat muda Ayu harus menerima fakta bahwa dirinya harus menjadi orang tua pengganti bagi keponakannya, Maya. Mau tidak mau dirinya juga harus menjadi tulang punggung keluarga disaat ayahnya juga ikut menjadi korban "kecelakaan"...